Alasan-alasan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan Larangannya

Bagikan artikel ini

bully-3233568_1920Sebuah pemutusan hubungan kerja (PHK), diantara perusahaan dan karyawan, tentu saja tidak bisa dilakukan suka-suka. Sebuah PHK tidak bisa dilakukan, misalnya, karena pertimbangan subyektif atasan karyawan, atau bahkan pemilik perusahaan. Seorang manajer, tidak dapat melakukan PHK terhadap stafnya cuma karena stafnya itu sering “ngeyel” kalau dievaluasi hasil pekerjaannya.  

PHK cuma bisa dilakukan oleh perusahaan berdasarkan alasan-alasan yang definitif. Alasan definitif berarti, tindakan PHK itu harus memenuhi kriteria dan syarat sesuai undang-undang. Karena sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka konsekwensi dari PHK tersebut, yaitu hak-hak yang seharusnya diberikan kepada karyawan, dengan demikian juga jelas dan terukur.

Berikut adalah beberapa alasan yang bisa digunakan untuk melakukan PHK karyawan:

  1. Karyawan melakukan kesalahan berat.
  2. Karyawan ditahan pihak berwajib karena melakukan tindak pidana.
  3. Karyawan melanggar perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan.
  4. Karyawan melakukan pengunduran diri.
  5. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan.
  6. Perusahaan tutup atau mengalami pailit.
  7. Karyawan memasuki usia pensiun.
  8. Karyawan mangkir 5 hari kerja berturut-turut tanpa keterangan.  

Meskipun perusahaan berhak melakukan PHK berdasarkan alasan-alasan diatas, namun pada prinsipnya perusahaan dan karyawan harus berusaha mencegah terjadinya PHK. Peraturan perundang-undangan menghendaki, khususnya kepada perusahaan, agar perusahaan tidak dengan mudah mengeluarkan keputusan untuk melakukan PHK terhadap karyawannya. Pada tahap awal, perusahaan dan karyawan perlu melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK.   

Dan kalau segala upaya telah dilakukan, tapi PHK itu tetap tak terhindarkan, maka proses PHK itu baru bisa dimulai. Pertama-tama, maksud dari dilakukannya PHK itu harus dirundingkan terlebih dahulu, bukan hanya diantara perusahaan dan karyawan, tapi harus juga melibatkan serikat pekerja – jika ada. Dan kalau perundingan itu tidak juga menghasilkan kesepakatan, maka barulah PHK bisa dilakukan.

Untuk melakukan PHK, perusahaan tidak dapat melakukannya secara sepihak. Agar berlaku efektif secara hukum, sebuah PHK harus terlebih dahulu memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tanpa adanya penetapan dari lembaga tersebut, maka PHK tidak dapat dilakukan. Secara eksplisit pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dan kalaupun perusahaan memaksakan diri, melakukan PHK tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka PHK tersebut bisa menjadi batal demi hukum. Batal demi hukum berarti, sedari awal PHK tersebut dianggap tidak pernah terjadi, dan karenanya karyawan masih memiliki hubungan kerja dengan perusahaan.

Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum (Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan).

Namun untuk beberapa kondisi, penetapan PHK dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan. PHK tersebut adalah PHK yang dilakukan terhadap karyawan yang (Pasal 154 UU Ketenagakerjaan):

  1. Masih dalam masa percobaan.
  2. Mengundurkan diri.
  3. Memasuki usia pensiun.
  4. Meninggal dunia.

Sebuah PHK yang tetlah memenuhi syarat, tentunya akan membawa konsekwensi terhadap hak-hak karyawan. Konsekwensi itu antara lain, kewajiban perusahaan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan/atau uang penggantian hak kepada karyawannya. Jenis-jenis dan besaran dari hak karyawan itu berbeda-beda, tergantung dari alasan dilakukannya PHK tersebut.

Alasan-alasan Yang Dilarang Untuk Melakukan PHK

Selain karena alasan-asalan diatas, UU Ketenagakerjaan juga menentukan alasan-alasan tertentu yang tidak dapat digunakan untuk melakukan PHK terhadap karyawan. Alasan-alasan tersebut antara lain:

  1. Karyawan berhalangan masuk kerja karena sakit selama tidak melewati jangka waktu 12 bulan.
  2. Karyawan menjalankan kewajibannya terhadap negara.
  3. Karyawan menjalankan ibadah sesuai agamanya.
  4. Karyawan melakukan pernikahan.
  5. Karyawan perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusi bayinya.
  6. Karyawan mempunyai pertalian darah atau perkawinan dengan karyawan lain dalam satu perusahaan (kecuali diatur lain dalam peraturan perusahaan).
  7. Karyawan mendirikan atau menjadi anggota serikat pekerja.
  8. Karyawan melaporkan perusahaan kepada pihak berwajib karena perusahaan melakukan tindak pidana kejahatan.
  9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
  10. Karyawan mengalami cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit karena hubungan kerja yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Alasan-asalan di atas tidak dapat digunakan oleh perusahaan untuk mem-PHK karyawannya. Kalau perusahaan tetap melakukan PHK berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka secara hukum PHK tersebut dianggap batal demi hukum. Artinya, sedari awal dianggap tidak pernah ada PHK, dan perusahaan serta karyawan harus tetap menjalankan hak dan kewajiban hubungan kerjanya.

(Dadang Sukandar SH./www.legalakses.com)