Menafsirkan Isi Perjanjian

Bagikan artikel ini

Orang awam hukum sering berpikir bahwa perbedaan titik dan koma dalam suatu perjanjian dapat menciptakan konflik-konflik tambahan dalam melaksanakan perjanjian. Namun sesungguhnya, karena suatu perjanjian lahir dari hubungan sosial kemasyarakatan dan bukan sebaliknya (turun dari langit untuk mengatur kehidupan manusia), maka isi perjanjian itu seharusnya realistis dan logis. Realistis berarti dapat secara nyata mengatur hubungan manusia dan tidak mengawang-awang diatas awan, dan logis berarti masuk akal untuk dilaksanakan.

Namun dalam prakteknya perbedaan itu bisa saja muncul. Misalnya, yang paling sering terjadi adalah menafsirkan kata-kata dalam perjanjian itu sendiri. Jika memang kata-kata dalam suatu perjanjian sudah jelas, maka para pihak tidak diperkenankan lagi untuk menyimpang dari pengertian yang ada dengan jalan menafsirkannya secara lain (kecuali memang semua pihak menyepakatinya). Dan jika memang kata-kata dalam perjanjian itu menimbulkan multitafsir, maka perlu diselidiki maksud dari para pihak sewaktu membuat perjanjian, sehingga para pihak tidak perlu memegang teguh arti kata menurut huruf-huruf yang bertebaran dalam perjanjian.

Selanjutnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa jika suatu klausul perjanjian memiliki dua arti, maka janji itu harus dipahami dalam pengertian yang paling memungkinkan untuk dapat dilaksanakan, dan bukan sebaliknya. Selain dapat dilaksanakan, kata-kata perjanjian tersebut juga harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat perjanjian dan harus dapat dijelaskan menurut kebiasaan di dalam negeri atau di tempat perjanjian itu dibuat.

Demikian pula mengenai syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, yang meskipun tidak disebutkan dalam perjanjian, syarat-syarat tersebut harus dianggap telah dimasukan ke dalam perjanjian. Misalnya, jika perjanjian tidak menentukan bahwa uang muka akan menjadi milik penjual jika pembeli tidak jadi membeli mobil, maka klausul tersebut dianggap telah dimasukkan ke dalam perjanjian (kecuali dalam perjanjian para pihak menyatakannya secara jelas untuk mengembalikan uang muka tersebut).

Dalam perjanjian, semua klausul harus terkait satu sama lain, dan demikian pula pengertiannya harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain. Jika pasal satu menyatakan bahwa penyerahan barang dilakukan dengan penyerahan kunci mobil, dan pasal lainnya menyatakan bahwa penyerahan barang dilakukan di tempat kediaman pembeli, maka pengertaian yang dianut adalah: pernyerahan barang tersebut dilakukan di tempat kediaman pembeli dengan cara penyerahan kunci mobil.

Secara teknis sebaiknya klausul-klausul dalam perjanjian dibuat seterang dan sejelas mungkin. Namun, seberapapun luasnya pengertian dari kata-kata yang digunakan dalam perjanjian, maka perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan para pihak sewaktu membuatnya. (www.legalakses.com).

Artikel Terkait:

  1. Perikatan, Perjanjian dan Kontrak
  2. Menyusun Kontrak
  3. Surat Pencabutan Kuasa
  4. Asas-asas Perjanjian
  5. Membuat Surat Kuasa
  6. Pengertian dan Syarat-syarat perjanjian
  7. Membuat Surat Perjanjian