Mengikat Kesepakatan Awal Negosiasi Kontrak Dengan MoU (Memorandum of Understanding)

Bagikan artikel ini

Memorandum of Understanding (MoU) atau sering juga disebut Nota Kesepahaman, sebenarnya tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun dalam praktek sering digunakan untuk kegiatan komersial. Dalam praktek, banyak pelaku usaha menyamakan MoU dengan kontrak, atau menggunakan istilah itu sebagai pengganti istilah kontrak. Meski kedua istilah itu sebenarnya berbeda, namun perbedaannya hanya setipis uang kertas.

Singkatnya MoU bisa diartikan sebagai pra-kontrak, pengikatan kesepakatan awal sebelum para pihak membuat kontrak sebenarnya. Bahkan, MoU itu sendiri dapat disebut sebagai kontrak. Setelah para pihak menemukan kesepakatan negosiasi mereka di meja perundingan, maka poin-poin penting negosiasi itu biasanya dituangkan ke dalam MoU. Teknis operasional dan detail lainnya tentang kerja sama mereka selanjutnya akan dituangkan ke dalam kontrak tersendiri. Tujuan dibuatnya MoU biasanya karena para pihak belum siap untuk menandatangani kontrak mereka. Beberapa alasan penghambat untuk dibuatnya kontrak saat itu juga misalnya karena para pihak masih perlu melakukan studi kelayakan kerja sama mereka. Atau, bisa juga belum siapnya para pihak itu karena menunggu keluarnya perizinan tertentu yang menjadi syarat dari kerja sama mereka.

Karena MoU dibuat untuk mempersiapkan kontrak sebenarnya yang belum bisa ditandatangani pada saat negosiasi awal ditutup, maka keberlakuan MoU biasanya terbatas jangka waktu – sampai kontrak utamanya siap ditandatangani. Dalam MoU kerja sama konstruksi pembangunan instalasi pengolahan limbah, misalnya, kontraktor perlu waktu untuk menghitung desain konstruksi dan biayanya serta membuat proposal sesuai dengan kebutuhan pemberi kerja – yang kesepakatan dalam draf finalnya akan dinegosiasikan lebih lanjut dengan pemberi kerja.

Karena MoU umumnya dibuat singkat dan hanya  berisi pokok-pokok kerja sama sebagai landasan kontrak, maka secara praktis nampaknya memang tidak memiliki kekuatan hukum. Pandangan semacam ini banyak diterima oleh bukan saja pelaku usaha tapi juga praktisi hukum, sehingga seolah-olah keberadaan MoU dapat diabaikan – karena yang terpenting adalah kontraknya.  

Apakah MoU memiliki kekuatan hukum yang dapat dipaksakan seperti halnya kontrak, hal itu tergantung dari apa yang dikandung di dalamnya. Jika sebuah MoU telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dan karenanya mengandung hak dan kewajiban, maka MoU telah mengikat secara hukum dan dapat dipaksakan – demikian pula sebaliknya. Bagi para pihak, MoU yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dapat dipersamakan dengan undang-undang.

Jika anda  adalah pemilik toko sepatu yang menjual sepatu merek-merek ternama secara retail, dan anda berminat untuk mengembangkan usaha anda itu menjadi grosir dengan sepatu merek anda sendiri, mungkin anda memerlukan MoU pada saat negosiasi awal dengan bengkel sepatu. Cita-cita anda untuk turut serta memajukan produk lokal dengan memproduksi sendiri sepatu anda bisa dimulai dari MoU.

Pertama-tama mungkin anda harus menemukan produsen sepatu kalau belum bisa membuka bengkel sendiri. Anda bisa pergi ke Cibaduyut di Bandung, misalnya, dan meminta sebuah bengkel sepatu untuk membuat desain dan merek anda sendiri. Untuk menjaga kontinuitas suplai barang, anda dapat meminta bengkel sepatu itu untuk memproduksinya secara regular, katakanlah sepuluh kodi setiap bulan, dan segera mengikatnya dengan kontrak sebagai jaminan kepastian suplai barang.   

Setelah negosiasi dan sepakat dengan kualitas dan kuantitas serta harganya, anda dan bengkel sepatu anda mungkin memerlukan waktu persiapan sebelum benar-benar bisa mengeksekusi bisnisnya. Bengkel sepatu anda perlu waktu untuk membuat sample dan menambah karyawan demi menjaga kontinuitas suplai barang, sementara anda perlu waktu untuk memperoleh modal. Sebelum anda dan bengkel sepatu itu menandatangani kontrak, pada saat menutup negosiasi anda bisa mengikat kesepakatan awal itu dengan MoU. (Dadang Sukandar, S.H./www.legalakses.com).