Dalam setiap hubungan, tak terkecuali hubungan perjanjian atau kontrak, selalu berpotensi memunculkan konflik. Selain Karena beda penafsiran mengenai pelaksanaan isi kontrak, konflik itu bisa muncul karena salah satu pihak melanggar isi kontrak. Dalam konflik tersebut, pihak yang dapat menyelesaikannya dengan baik bisa menemukan jalan keluar yang solutif, namun tak sedikit pula yang sampai harus berjuang mempertahanan haknya di pengadilan.
Sebuah perusahaan kontraktor dapat menyelesaikan pekerjaannya bahkan sebelum jangka waktu kontrak berakhir, tapi kontraktor yang bandel masih sanggup mengajukan sepuluh dasar pembenar untuk menjustifikasi keterlambatannya yang jauh di luar janji. Dalam hubungan kontraktual, penyelesaian perselisihan merupakan bagian tersendiri yang juga memerlukan strategi.
Konflik atau perselisihan dalam hubungan kontrak biasanya muncul karena salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan kewajibannya sesuai janji. Hal itu bisa berupa ketidaksesuaian, keterlambatan, atau bahkan sama sekali tidak dilaksanaknnya kewajiban. Tidak terlaksananya kewajiban itu bisa disebabkan karena force majeure, namun yang paling umum disebabkan karena wanprestasi.
Secara efisien, perselisihan kontraktual sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tersebut tidak dapat menghasilkan kesepakatan yang solutif, barulah para pihak dapat mengajukan gugatan hukum – baik gugatan hukum ke pengadilan maupun gugatan di luar pengadilan.
Langkah pertama menyelesaikan perselisihan kontrak adalah dengan perundingan. Dalam perundingan itu masing-masing pihak perlu mencari tahu mengapa hak dan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan, mengapa pembangunan gedung oleh kontraktor melenceng dari jadwal. Jika alasan-alasan itu cukup masuk akal, maka dalam negosiasi awal para pihak dapat menyelesaikan perselisihan itu dengan kesepakatan, misalnya salah satu pihak diberi kelonggaran dalam melaksanakan kewajibannya namun dengan sedikit kompensasi tambahan – negosiasi win-win solution.
Namun jika perundingan itu membentur jalan buntu, karena misalnya para pihak berkeras dengan kebenaranya masing-masing, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan hukum. Gugatan itu untuk memaksa pihak lain, yang dianggap melanggar perjanjian, untuk melaksanakan kewajibannya, mengakhiri kontrak, meminta ganti rugi, atau sekalian menuntut semuanya.
Tuntutan itu dapat diajukan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Dalam kontrak, para pihak dapat mempertegas cara-cara penyelesaian perselisihan itu dengan spesifik dan alternatif, misalnya dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi penyelesaiannya.
Jika perundingan sudah tak bisa lagi diharapkan, dan mengajukan gugatan ke pengadilan dinilai lama dan bertele-tele, para pihak dapat memilih penyelesaian alternatif dengan jalan arbitrase yang tertutup, sederhana, dan cepat. Misalnya dengan mengajukan gugatan ke BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Jika para pihak sepakat untuk memilih arbitrase, maka bagi mereka tertutup sudah jalan penyelesaian melalui gugatan pengadilan.
Berikut adalah contoh klausul penyelesaian perselisihan di dalam kontrak:
Pasal 12 Penyelesaian Perselisihan
ATAU Pasal 12 Penyelesaian Perselisihan
|