Syarat Melakukan Perkawinan

Bagikan artikel ini

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Suatu perkawinan baru dapat dikatakan perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan.

Meski pada dasarnya seorang pria hanya boleh kawin dengan seorang wanita, namun menurut hukum perkawinan Islam seorang suami dapat beristri lebih dari satu (poligami) asalkan memenuhi syarat-syarat poligami dan mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Suatu perkawinan dilaksanakan berdasarkan persetujuan dari kedua calon mempelai. Namun bila calon mempelai belum dewasa (belum 21 tahun), calon mempelai harus mendapat izin terlebih dahulu dari kedua orang tuanya. Jika orangtua calon mempelai telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan izinnya, maka izin tersebut cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau walinya.

Calon mempelai yang belum dewasa (belum 21 tahun) yang diizinkan melangsungkan perkawinan hanyalah yang telah berumur 19 tahun (pria) dan 16 tahun (wanita). Untuk usia yang lebih muda lagi, calon mempelai hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan meminta dispensasi terlebih dahulu kepada Pengadilan Agama.

Larangan Perkawinan

Hukum perkawinan Islam melarang suatu perkawinan apabila:

  1. Kedua calon mempelai mempunyai hubungan darah, baik dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas (orang tua dan anak).
  2. Kedua calon mempelai berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping (antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya).
  3. Kedua calon mempelai berhubungan semenda (mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri).
  4. Kedua calon mempelai berhubungan susuan (orang tua susuan, anak susuan, saudara, susuan dan bibi/paman susuan).
  5. Kedua calon mempelai berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
  6. Kedua calon mempelai mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Seorang pria yang masih terikat tali perkawinan dengan perkawinan yang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali memenuhi syarat untuk melakukan poligami. Begitu juga apabila suami dan isteri yang telah bercerai kemudian kawin lagi, dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi.

Bagi seorang istri yang perkawinanya telah putus, baik karena kematian maupaun perceraian, maka terhadapnya berlaku jangka waktu tunggu (masa idah). Bila perkawinan putus karena kematian, maka jangka waktu tunggunya 130 hari sejak kematian, sedang jangku waktu tunggu karena perceraian adalah 3 kali suci (3 bulan) bila masih datang bulan atau sekurang-kurangnya 90 hari (sejak putusan perceraian). Untuk wanita yang sedang mengandung, maka baginya berlaku jangka waktu tunggu sampai ia melahirkan.

Secara formal, berikut adalah syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan:

  1. Memberitahukan kehendak untuk melakukan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan (10 hari sebelum perkawinan dilaksnakan).
  2. Pegawai pencatat perkawinan akan meneliti persyaratan yang dibutuhkan dan mencatatnya dalam daftar khusus.
  3. Pegawai pencatat perkawinan kemudian membuat pengumuman mengenai rencana perkawinan tersebut.
  4. Kedua mempelai melangsungkan perkawinan apabila tidak ada sanggahan atas pengumuman yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan.

(legalakses.com).

 Artikel Terkait: