Cara Melayangkan Somasi Kepada Lawan Kontrak Yang Melakukan Wanprestasi

Kalau Anda sudah membayar lunas orderan barang sepuluh kodi sepatu boot kepada supplier atau pabrik langganan Anda, tapi ia belum juga mengirimkan barangnya ke gudang Anda tepat waktu, apa yang mungkin terjadi? Anda bukan cuma dikomplain, mungkin juga diputus kontrak, bahkan berpotensi dituntut oleh mitra bisnis Anda yang sudah Anda janjikan barangnya dalam sebuah proyek pengadaan barang.

Dalam tragedi itu mungkin Anda akan mengakui kesalahan Anda, meminta maaf, menerima segala konsekwensi, tapi kadang itu belum cukup untuk mengembalikan reputasi Anda di mata mitra bisnis. Tinggal berikutnya, Anda punya urusan dengan supplier atau pabrik. Anda dapat menuntut supplier Anda karena telah merugikan Anda bukan hanya materil, tapi juga reputasi – membuat Anda menjadi orang yang bisnisnya sulit dipercaya lagi.

Kalau seorang debitur, yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan kewajiban kontrak, melakukan wanprestasi, maka secara hukum kreditur, orang yang berhak menerima pelaksanaan kontrak, berhak untuk menuntut pembatalan kontrak sekaligus menuntut ganti ruginya – melalui pengadilan. Hak menuntut ganti rugi dari kreditur itu muncul karena kerugian yang dideritanya disebabkan oleh kesalahan debitur dalam pelaksanaan kontrak.

Jadi, dalam wanprestasi, unsur kesalahan punya peran yang penting, bahkan menentukan, sebab orang yang tanpa kesalahan tidak dapat dihukum untuk mengganti sebuah kerugian. Karena bisa saja terjadi, meskipun debitur tidak melaksanakan kewajibannya, ia dianggap tidak bersalah. Misalnya, tidak terlaksananya kewajiban kontrak itu disebabkan karena keadaan memaksa (overmacht atau force majeure). Unsur keadaan memaksa itulah yang menghilangkan unsur kesalahan si debitur, sehingga debitur tidak dapat dituntut membayar ganti rugi.

Untuk dapat menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi melalui pengadilan, pertama-tama kreditur harus memastikan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi, dan pastikan juga bahwa wanprestasi itu terjadi karena kesalahan debitur. Hak-hak kreditur untuk menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi ini bisa kita temukan di Pasal 1243 dan 1267 KUHPerdata:

1243. Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.

1267. Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Sesuai ketentuan di atas, agar kreditur dapat menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi kepada debitur, terlebih dahulu debitur harus dalam keadaan wanprestasi. Untuk menentukan debitur berada dalam keadaan wanprestasi, pertama-tama perlu ditentukan jangka waktu tertentu sebagai batas waktu untuk debitur melaksanakan kewajibannya. Kalau kontrak itu menentukan jangka waktu tertentu bagi pelaksanaan kewajiban debitur, maka menentukan wanprestasi ini cukup mudah, yaitu ketika jangka waktu sesuai kontrak telah dilewati tapi debitur tidak juga melaksanakan kewajibannya.

Namun kesulitan akan muncul ketika sebuah kontrak tidak menentukan suatu jangka waktu tertentu sebagai batas akhir debitur melaksanakan kewajibannya. Solusinya dapat kita temukan dalam Pasal 1238 KUHPerdata:

Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Berdasarkan pasal di atas, keadaan lalai (wanprestasi) dapat ditentukan dalam dua keadaan:

  1. Dengan surat perintah atau surat peringatan dari kreditur kepada debitur agar debitur melaksanakan prestasi kontraknya dalam jangka waktu tertentu.
  2. Jika waktu yang ditentukan dalam kontrak telah berakhir.

Kalau sebuah kontrak tidak menyebutkan suatu jangka waktu tertentu sebagai batas waktu pelaksanaan kewajiban, maka surat perintah atau surat peringatan (somasi) akan melengkapi jangka waktu tersebut. Somasi (somatie atau legal notice) berisi peringatan, bahwa debitur harus melaksanakan kewajibannya sesuai jangka waktu yang ditentukan di dalam surat somasi tersebut. Kalau jangka waktu pelaksanaan kewajiban dalam somasi itu tidak dilaksanakan oleh debitur, maka debitur dapat dianggap telah melakukan wanprestasi.

Dan kalau di dalam kontrak sudah ditentukan jangka waktu pelaksanaan kewajibannya, maka somasi tidak diperlukan lagi. Jika sesuai kontrak seorang penjual berkewajiban untuk mengirimkan barang pada tanggal 1 Oktober, maka setelah lewatnya waktu tersebut tapi penjual tidak juga mengirimkan barangnya, penjual bisa dianggap telah melakukan wanprestasi.

Jadi, somasi merupakan salah satu sarana untuk menentukan saat atau waktu tertentu lahirnya sebuah wanprestasi – ketika kontraknya tidak menentukan jangka waktu pelaksanaan kewajiban bagi debitur. Dengan lahirnya keadaan wanprestasi tersebut maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan dan ganti rugi. Dan kalau debitur tidak memenuhi tuntutan itu secara sukarela, maka kreditur dapat menggugatnya ke Pengadilan.

Dulu somasi diartikan sebagai sebuah akta otentik karena harus dibuat oleh juru sita pengadilan. Tapi sekarang, sesuai doktrin dan yurisprudensi, somasi tidak perlu lagi dibuat dalam bentuk akta otentik, tapi bisa juga dibuat sendiri oleh kreditur secara di bawah tangan.

Melayangkan Somasi Sesuai Praktek Pada Umumnya

Namun, meskipun somasi dibuat untuk menentukan waktu tepat terjadinya kelalaian atau wanprestasi, karena di isi kontrak tidak menyebutkan batas waktu khusus pelaksanaan kewajiban debitur, tapi dalam prakteknya sekarang somasi digunakan untuk hampir semua jenis kontrak. Dalam praktek, somasi sering juga digunakan untuk kontrak-kontrak yang secara tegas mencantumkan tanggal pelaksanaan kewajiban. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa somasi juga diajukan terhadap debitur yang lalai, meskipun dalam kontrak mereka telah dengan tegas menyatakan tanggal berapa barang harus diterima oleh pembeli – atau tanggal berapa sebuah bangunan gedung harus sudah diselesaikan oleh kontraktor. Jadi, sekarang somasi sering digunakan sebagai surat peringatan, atau surat teguran, dan bahkan mengandung ancaman gugatan hukum.

Karena tidak ada ketentuan mengenai formatnya, maka bentuk surat somasi memiliki format yang bebas – sepanjang surat itu mengandung peringatan pernyataan lalai dan jangka waktu pelunasan kewajibannya. Meski secara hukum somasi cukup dilakukan hanya sekali, tapi dalam prakteknya sering kreditur menyampaikan somasi itu sampai berkali-kali. Dalam praktek, somasi biasanya dilayangkan sampai dua atau tiga kali (Somasi 1, Somasi 2 dan somasi-3), meski ada juga kreditur yang menyampaikannya sampai puluhan kali somasi saking inginnya menyelesaikan wanprestasi mereka di luar pengadilan.

Somasi pertama umumnya berupa peringatan yang bersifat soft, karena kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi. Somasi pertama biasanya juga tidak terlalu keras dalam memberikan peringatan, karena kreditur masih mempunyai kepentingan untuk mengajak debitur melakukan perundingan. Dalam somasi pertama, sering kreditur mengundang debitur ke kantornya untuk merundingkan kontrak mereka dan menyelesaikannya secara musyawarah dan kekeluargaan. Bahkan, dalam somasi pertama istilah somasi cenderung tidak digunakan, dan kebanyakan kreditur lebih menyukai istilah Surat Teguran atau Surat Peringatan ketimbang  Somasi.

Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau ditanggapi tapi tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan perundingan tapi mereka tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat melayangkan somasi kedua. Dalam somasi kedua kreditur memberikan peringatan yang lebih tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan. Dalam somasi kedua kreditur juga mulai memberikan ancamannya berupa gugatan hukum jika debitur tak mengindahkan isi somasi. Meskipun telah memberikan sinyal kuat ancaman perang, namun kreditur masih tetap membuka peluang untuk berdamai.

Dalam somasi ketiga, yang diajukan karena debitur tak juga memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah menyempit dan sangat tegas. Dalam somasi ketiga biasanya kreditur hanya memberikan dua pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika somasi ketiga inipun tak memberikan penyelesaian yang memuaskan, barulah kreditur menabuh genderang perangnya: meminta pengacaranya untuk menyusun surat gugatan pengadilan.