Banyak orang berpikir bahwa perbedaan titik dan koma dalam kontrak bisa menimbulkan pengertian yang jauh menyimpang. Sikap berhati-hati dalam membuat dan melaksanakan kontrak adalah baik, tapi terlalu berhati-hati juga dapat memperpanjang waktu pembuatan kontrak dan melambatnya eksekusi bisnis. Namun sungguhpun setiap orang berhati-hati dalam membuat dan melaksanakan kontrak, perbedaan menafsirkan kata-kata dalam kontrak kadang tak terhindarkan.
Kontrak lahir dari adanya hubungan sosial dan bukannya jatuh dari langit, sehingga seharusnya tak ada alasan bagi para pihak untuk menafsirkan isi kontrak mereka secara berbeda – kecuali memang dilandasi itikad yang tidak baik. Para pihak itu sendiri yang berkomunikasi, melakukan negosiasi, saling menyampaikan penawaran dan penerimaan, dan menyetujui apa-apa yang telah mereka tulis dan pahami. Jadi, mengapa bisa terjadi beda penafsiran?
Perbedaan kata, istilah atau kalimat dalam mendeskripsikan klausul kontrak (keadaan atau perbuatan hukum) bisa muncul karena miskomunikasi dan ketidakpahaman. Perbedaan penafsiran bisa juga muncul karena deskripsi klausul kontrak yang terlalu umum, abstrak, atau bahkan ambigu. Dalam keadaan demikian, diperlukan intepretasi lebih lanjut untuk menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak agar efektif dan dapat dilaksanakan.
Melalui interpretasi, para pihak mencari tujuan sebenarnya dari maksud mereka, bila perlu mengorek setiap kata dalam kontrak, menyandingkannya dengan undang-undang dan kebiasaan, sehingga menjadi jernih apa yang sebenarnya menjadi maksud dari para pihak di awal kontrak.
Untuk mencegah terjadinya perbedaan tafsir dalam melaksanakan kontrak, maka sebaiknya sebuah kontrak disusun secara realistis, logis, dan clear. Secara rasional, para pihak harus realistis dalam membuat kontrak, menyusun kontrak tersebut secara faktual agar dapat mengatur hubungan mereka sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengawang-awang. Kontrak yang dibuat secara logis berarti ketentuan-ketentuan di dalamnya masuk akal untuk dilaksanakan – dan menghindari ketentuan-ketentuan yang tidak mungkin untuk dilaksanakan.
Jika keinginan masing-masing pihak telah berhasil dipahami, maka susunlah ketentuan-ketentuan itu dengan bahasa dan kata-kata yang sejernih, seterang dan sejelas mungkin – bila perlu menambahkan pasal definisi untuk menghilangkan keragu-raguan. Klausul kontrak merupakan ungkapan maksud dan tujuan para pihak dalam menjalin hubungan hukum mereka dengan menggunakan pilihan kata yang sering kali terbatas, sehingga karenanya tidak ada kontrak yang sempurna. Namun, jika perbedaan penafsiran kontrak itu tak terhindarkan, maka KUHPerdata telah memberikan pedomannya dalam Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.
Tidak Perlu Menafsirkan Kata-kata Yang Sudah Jelas
Dalam melaksanakan kontrak, para pihak tidak perlu lagi menafsirkan kata-kata yang sudah jelas. Jika memang kata-kata dalam kontrak sudah jelas dan para pihak memahami maksudnya, maka para pihak tidak diperkenankan lagi untuk menyimpang dari pengertian yang ada dengan jalan menafsirkannya. Hal ini seperti ditegaskan dalam Pasal 1342 KUHPerdata, bahwa jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Kata-kata yang dituangkan ke dalam kontrak telah memberikan makna yang sama bagi semua pihak, maka kata-kata tersebut tidak perlu ditafsirkan lagi karena memang para pihak telah menghendaki demikian dalam perumusannya. Dalam hal ini, jikapun memungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, maka perbedaan itu sangat kecil dan tidak substansi.
Jika Kata-kata Dalam Kontrak Multitafsir
Jika kata-kata dalam kontrak menimbulkan berbagai penafsiran, maka perlu diselidiki maksud sebenarnya dari para pihak sewaktu membuat kontrak, dan ke sanalah kata-kata tersebut perlu diartikan. Para pihak tidak perlu berpegang teguh pada arti kata berdasarkan huruf-huruf di dalam kontrak jika memang pengertian itu tidak sesuai dengan maksud pembuatannya. Isi kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan kehendak para pihak, meskipun menyimpang dari kata-kata yang terumus. Untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab terhadap barang yang hilang, maka para pihak perlu mengembalikannya lagi kepada maksud mereka sewaktu membuat kontrak, apakah pada waktu itu mereka hendak membuat kontrak penitipan barang atau sewa-menyewa. Jika yang dimaksud adalah kontrak penitipan barang, maka penerima titipanlah yang yang bertanggung jawab terhadap kehilangan barang, namun jika maksudnya adalah sewa menyewa maka pihak penyewalah yang bertanggung jawab atas barangnya sendiri.
Jika Suatu Janji Mempunyai Dua Arti Atau Lebih
Jika janji dalam kontrak mempunyai dua arti atau lebih, maka harus ditafsirkan ke dalam pengertian yang paling memungkinkan untuk janji tersebut dapat dilaksanakan, dan bukannya memaksakan diri untuk mengartikan janji itu ke dalam pengertian yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. janji tersebut harus ditafsirkan sedekat mungkin dengan maksud para pihak, baik sesuai kehendak para pihak sendiri maupun menurut ukuran masyarakat yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Para pihak tidak perlu terikat secara kaku terhadap penafsiran gramatikal saja.
Jika Kata-kata Dalam Kontrak Dapat Diberikan Dua Arti Atau Lebih
Dan jika kata-kata dalam kontrak dapat diberikan dua pengertian atau lebih, maka pengertian kata-kata dalam kontrak tersebut harus dipilih yang paling sesuai dengan sifat kontraknya. Setiap kontrak tentu memiliki ciri-ciri tertentu yang menjadi sifatnya, dan ciri ini yang membedakannya dengan kontrak yang lain. Pengertian kata-kata dalam kontrak tentunya perlu menyesuaikan dengan ciri-ciri kontranya itu sendiri, yaitu dengan memperhatikan relevansi antara janji-janji atau kata-kata yang satu dengan janji-janji atau kat-kata yang lainnya.
Syarat-syarat Yang Selalu Diperjanjikan Menurut Kebiasaan
Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, meskipun syarat tersebut tidak disebutkan di dalam kontrak, syarat-syarat itu harus dianggap telah dimasukan ke dalam kontrak. Dalam kondisi ini, ukuran yang digunakan bukan hanya kehendak para pihak yang menafsirkannya tapi juga pada kebiasaan di lingkungan dan masyarakat di mana kontrak itu dibuat.
Semua Janji Harus Diartikan Dalam Hubungannya Dengan Janji Yang Lain Dalam Kontrak
Dalam kontrak, semua janji dalam klausul harus terkait satu sama lain, demikian pula pengertiannya harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain. Setiap klausul kontrak harus memiliki kaitan satu sama lain sebagai sebuah rangkaian yang utuh, sehingga hak dan kewajiban dalam kontrak dapat dibaca sebagai rangkaian yang menyeluruh. Jika pasal yang satu menyatakan bahwa penyerahan barang dilakukan dengan penyerahan kunci mobil, dan pasal lain menyatakan penyerahan barang harus sekaligus dengan STNK dan BPKB, serta pasal lainnya lagi menyatakan bahwa penyerahan barang dilakukan di tempat kediaman pembeli, maka berarti penjual harus membawa dan menyerahkan mobil tersebut di tempat pembeli dan menyerahkan sekaligus kunci, STNK serta BPKB-nya. Jika hanya dilakukan penyerahan kunci mobil saja, misalnya, maka belum bisa dibilang telah terjadi penyerahan barang – kontrak belum selesai dilaksanakan.
Kata-kata Dalam Kontrak Hanya Meliputi Apa Yang Nyata-nyata Dimaksudkan Para Pihak Sewaktu membuat Kontrak
Seberapapun luasnya pengertian dari kata-kata yang digunakan dalam kontrak, kata-kata itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan para pihak sewaktu membuatnya. Jika dalam kontrak sewa pemilik apartemen memberikan kuasa kepada penyewa untuk melakukan pengurusan apartemen, maka pengurusan itu maksudnya untuk membina hubungan dengan perhimpunan penghuni apartemen, atau melakukan perbaikan-perbaikan dan membayar biaya-biaya kebutuhan apartemen, tapi tidak berarti si penyewa dapat menyewakan kembali sebagian apartemen tersebut – meskipun kontraknya tidak mengatur masalah menyewakan kembali.