Hukum Jual Beli Ecommerce 2: Perjanjian Jual-Beli Ecommerce

Bagikan artikel ini

Dalam KUHPerdata Buku III Bab V tentang jual beli, jual beli diartikan sebagai sebuah perjanjian bernama (nominaat). Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah:

Suatu persetujuan (perjanjian) dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

Dalam pasal ini jual beli yang dimaksud adalah jual beli dalam pengertian umum (konvensional), belum meliputi jual beli secara elektronik.

Kalaulah jual beli adalah sebuah perbuatan hukum (perjanjian), maka e-commerce juga merupakan perbuatan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara penjual dan pembeli. Bedanya dengan jual beli konvensional, e-commerce dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik, sehingga untuk mengukur keabsahan jual belinya secara hukum, selain menggunakan KUHPerdata juga harus menggunakan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Berdasarkan UU ITE, perbuatan hukum jual beli dengan menggunakan sarana elektronik ini diartikan sebagai transaksi elektronik.

Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya (Pasal 1 angka 2 UU ITE). Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan transaksi elektronik dilakukan baik dalam lingkup publik maupun privat. Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik dilakukan oleh instansi penyelenggara negara untuk melayani kepentingan publik, sedangkan dalam lingkup privat meliputi pelayanan:

  • Antar Pelaku Usaha (B2B)
  • Antara Pelaku Usaha dengan konsumen (B2C)
  • Antar Pribadi (C2C)
  • Antar Instansi (G2G)
  • Antara Instansi dengan Pelaku Usaha (G2B)

(Pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik)

Sesuai UU ITE, transaksi elektronik dapat menimbulkan akibat hukum kepada para pihak yang melakukannya, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka. Informasi elektronik dan dokumen elektronik, beserta hasil cetaknya, merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi elektronik atau dokumen elektronik itu baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan dalam UU ITE.

Untuk menjadikan transaksi elektronik dalam e-commerce bernilai secara hukum, maka transaksi itu harus memenuhi baik syarat-syarat umum maupun syarat khusus mengenai perjanjian jual beli. Ketentuan umum (lex generalis) adalah syarat-syarat sahnya perjanjian jual beli secara umum, sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1320 KUHPerdata:

  • Kecakapan para pihak
  • Kata sepakat
  • Suatu hal tertentu
  • Sebab yang halal

Selain syarat umumdiatas, transaksi e-commercer juga harus memenuhi persyaratan dalam UU ITE sebagai ketentuan khususnya (lex specialis). Jika KUHPerdata menentukan syarat-syarat umum, maka UU ITE mengatur ketentuan-ketentuan khusus yang bersifat teknis, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan sarana elektronik.

Kecakapan Para Pihak

Cakap berarti para pihak dianggap mampu untuk melakukan perbuatan hukum dalam transaksi elektronik, dan karenanya mampu untuk mempertanggungjawabkan akibat hukumnya. Setiap orang pada prinsipnya dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum – setiap orang dianggap cakap untuk melakukan transaksi elektronik dalam e-commerce. Meskipun cakap, beberapa diantaranya masih ada yang dikecualikan, yaitu anak di bawah umur, orang dewasa yang berada di bawah pengampuan, dan orang-orang yang dilarang oleh undang-undang.

Untuk memastikan kecakpan calon pembeli, khususnya dalam e-commerce B2C yang dilakukan melalui website, sebelum melakukan transaksi umumnya calon pembeli harus mengisi form registrasi atau pendaftaran melalui website penjual. Dalam registrasi tersebut calon pembeli mendaftarkan identitasnya, yang biasanya terdiri dari nama lengkap, tanggal lahir, domisili, alamat email dan nomor telepon. Fungsi registrasi terutama untuk memastikan identitas calon pembeli dan melakukan konfirmasi, bahwa calon pembeli adalah subyek hukum yang cakap dan berhak untuk melakukan perbuatan hukum – melakukan pembelian barang secara elektronik. Dalam mendaftarkan identitasnya, calon pembeli harus beritikad baik, dengan memasukan identitasnya dengan benar (faktual). Jika identitas yang diberikan tidak sesuai dengan kenyataannya, atau identitas itu didaftarkan oleh orang yang tidak cakap, maka kesepakatan yang diberikan oleh pembeli dalam transaksi elektroniknya tidak sah dan karenanya dapat dibatalkan.

Dalam e-commerce C2C, misalnya yang dilakukan di marketplace, selain calon pembeli maka calon penjual juga harus melakukan registrasi. Sebagai subyek hukum, calon penjual juga harus mendaftarkan identitasnya untuk memastikan bahwa calon penjual adalah subyek hukum yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum – melakukan penjulan barang secara e-commerce.

Kesepakatan Para Pihak

Kesepakatan merupakan pertemuan kehendak dari para pihak diantara kepentingan-kepentingan hukum yang berbeda. Apa yang dikehendaki oleh satu pihak juga dikehendaki oleh pihak yang lain – mereka menghendakinya secara timbal balik. Munculnya kesepakatan diawali dengan adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak, dan penawaran itu ditindaklanjuti dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak lawannya. Sesuai asas konsensualisme, maka kesepakatan muncul ketika penawaran dan penerimaan itu berjumpa, dan pada saat itulah terjadi kesepakatan/perjanjian jual beli.

Dalam e-commerce, penjual biasanya melakukan penawaran barang dengan men-display barang itu di toko website (katalog). Dalam katalognya penjual menampilkan deskripsi barang, gambar atau foto, serta harga produk yang ditawarkan. Selain deskripsi barang, penjual juga harus menampilkan syarat dan ketentuan jual beli serta informasi mengenai produsennya. Sesuai UU ITE, seluruh ketentuan yang menyangkut syarat kontrak (syarat dan ketentuan umum), informasi produsen dan produk yang ditawarkan, harus memuat informasi yang lengkap dan benar (Pasal 9 UU ITE).

Secara umum, calon pembeli telah dianggap menyetujui syarat dan ketentuan pembelian barang pada saat registrasi. Persetujuan itu biasanya dilakukan dengan menyentang tanda check (√) pada kolom syarat dan ketenuan. Berikutnya, dalam tiap-tiap transaksi, pembeli hanya tinggal menyetujui jenis barang dan harganya saja.    

Jika pembeli berminat membeli barang yang dipilihnya dari katalog, maka proses penerimaan dari penawaran transaksi itu dilakukan oleh pembeli dengan cara meng-klik tombol beli (buy) dan mengisi form konfirmasi pembelian barang. Form tersebut biasanya berisi ketentuan mengenai jenis dan jumlah barang, cara pembayaran dan alamat pengiriman – serta catatan lainya mengenai transaksi barang yang telah dipilih.

Untuk e-commerce B2B, biasanya penerimaan itu dilakukan pembeli melalui email. Dalam e-commerce B2B, karena selain melibatkan nilai transaksi dalam jumlah yang besar juga melibatkan dua institusi bisnis (perusahaaan), maka prosesnya lebih restricted (terbatas dan kaku). Dalam syarat dan ketentuan jual-beli yang diumumkan di website penjual, pelanggan baru biasanya disyaratkan untuk mengirimkan juga dokumen identitasnya (akta pendirian dan perizinan perusahaan).

Dengan dilakukannya penerimaan atas penawaran sesuai prosedur, maka diantara penjual dan pembeli kini telah terikat perjanjian jual beli secara elektronik. Tinggal selanjutnya pembeli wajib melakukan pembayaran harga dan penjual melakukan pengiriman barang.

Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu berarti obyek transaksinya, yaitu barang, jasa atau informasi yang diperdagangkan. UU ITE mensyaratkan bahwa pelaku usaha (penjual) dalam menawarkan produknya harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan produk tersebut. Bukan hanya mengenai produknya, bahkan penjual juga harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar mengenai syarat jual beli dan produsennya. Penyampaian informasi yang tidak benar, dapat mengakibatkan transaksi e-commerce tersebut dapat dibatalkan.

Sebab Yang Halal

Sebab yang halal adalah syarat di mana obyek transaksi e-commerce tidak boleh melanggar hukum serta bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. E-commerce tersebut, misalnya, bukan merupakan transaksi elektronik untuk perdagangan hewan langka maupun jual beli jasa prostitusi. Transaksi elektronik yang tidak melanggar hukum berarti juga transaksi tersebut harus sesuai dengan ketentuan undang-undang, misalnya harus sesuai dengan UU ITE dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Dalam transaksi elektronik, pelaku usaha yang menawarkan produknya wajib untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat jual beli, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pelaku usaha juga wajib untuk memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan, serta memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi – termasuk wajib untuk menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim.

Sebuah transaksi eletronik harus dilaksanakan dengan menggunakan sistem elektronik. Sistem elektronik merupakan serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi untuk melakukan proses terhadap informasi elektronik – mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi elektronik. Agar informasi dan dokumen elektronik yang digunakan dalam sistem elektronik (termasuk hasil cetaknya) dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia, maka informasi elektronik tersebut harus menggunakan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan dalam UU ITE.  (Dadang Sukandar, SH./www.legalakses.com).

Baca Juga: