Hukum Kepailitan

Seorang teman saya termasuk dalam golongan orang yang anti-utang. Menurutnya, utang bisa menghimpit dada, bisa sesak kita dibuatnya. Tapi dalam bisnis, adakah pengusaha yang tidak terlibat utang? Pertanyaan ini rasanya hampir mirip dengan “akankah matahari besok pagi terbit?” Jadi pengusaha tentu saja harus siap dililit utang. Tapi apapun permainannya, yang terpenting adalah berhati-hati di medan ranjau: memahami segala resiko dan konsekwensinya supaya maut tidak menjemput bangkrut karena, misalnya, pengadilan tiba-tiba menyatakan pailit. Bukankah krisis keuangan yang melanda dunia saat ini seperti bom curah yang jatuh ketika penduduk kota sedang lelap-lelapnya tidur? Dunia dikagetkan dengan pengumuman sang Presiden, “Yes, we are bankrupt. But don`t wory, we can believe in… change.” Seketika, besoknya, berita-berita bunuh diri para CEO yang kecewa atau depresi akibat bangkrut menghiasi halaman muka koran-koran besar.

Perikatan

Hukum nasional kita, khusunya hukum perdata, tidak mengenal istilah “utang” secara definitif. Istilah utang tidak dirumuskan dalam satu pasal pengertian, sehingga untuk mendefinisikannya istilah tersebut dikembangkan dalam doktrin. Istilah “utang” lahir bersamaan dangan istilah “piutang” sebagai lawannya, seperti juga hak dan kewajiban yang berlawanan jika ditinjau dari arah kedua sisinya. Namun, apakah kewajiban sama dengan utang dan hak sama dengan piutang? Sebelumnya, ada baiknya kita menjenguk dulu pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer):

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”

Dalam pasal diatas jelas tersurat: undang-undang hendak menegaskan bahwa setiap hak dan kewajiban perdata, yang merupakan substansi dari hubungan perikatan, dapat timbul baik karena persetujuan/perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak maupun karena undang-undang memang menetukannya demikian. Dalam persetujuan, yang kita sebut saja perjanjian, para pihak yang terlibat memang menghendaki adanya suatu perikatan. Bahkan perikatan tersebut merupakan alat untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban hukum. Jadi, dalam perjanjian para pihak menegaskan lewat persetujuannya, bahwa ia mengakui hak-hak dan kajiban-kewajiban yang tertuang di dalam perikatan. Misalnya, Pasal 3, Penjual menyetujui bahwa Pembeli akan melakukan pembayaran barang secara mencicil sebanyak tiga kali dalam rentang waktu satu bulan.

Disamping perjanjian, alat untuk menimbulkan hak dan kewajiban lainnya adalah undang-undang. Dalam hal ini para pihak terikat secara hukum bukan karena adanya persetujuan, melainkan karena hukum telah menentukannya demikian. Misalnya, Undang-undang Perseroan Terbatas menentukan bahwa hanya Direktur yang dapat mewakili perbuatan hukum suatu perusahaan. Dengan demikian, undang-undang telah memberikan hak kepada Direktur perusahaan untuk dapat mewakili perusahaannya dalam berhubungan hukum dengan orang atau perusahaan lain. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, suatu perikatan sekurang-kurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur:

Pertama, Perikatan adalah suatu hubungan hukum. Hubungan hukum ini, seperti telah disampaikan diatas, dapat lahir baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Suatu perikatan yang lahir dari perjanjian mengikuti aturan-aturan hukum perjanjian seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPer maupun peraturan lainnya. Menurut pasal 1313 KUHPer, Perjanjian adalah:

“Suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut pasal diatas perjanjian merupakan suatu “perbuatan”. Hal ini berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu “hubungan”. Kedua perbuatan dan hubungan itu adalah perbuatan dan hubungan dalam bidang hukum, dan secara kausalitas mempunyai akibat hukum. Agar melahirkan perikatan, suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang menurut pasal 1320 KUHPer meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif meliputi  “kata sepakat dari para pihak” dan “kecakapan para pihak untuk bertindak hukum”. Syarat kedua, syarat obyektif, meliputi syarat “adanya suatu pokok persoalan tertentu” dan “suatu sebab yang halal (Tidak terlarang)”.

Prinsip penting lainnya dari suatu perjanjian adalah asas “kebebasan berkontrak”. Menurut pasal 1338 KUHPer, semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti setiap orang, siapapun, bebas membuat suatu perjanjian tentang apapun selama memenuhi syarat subyektif dan obyektif. Setelah memenuhi syarat, maka perjanjian tersebut akan berlaku layaknya undang-undang, tapi terbatas hanya pada pihak-pihak yang memberikan persetujuannya.

Kedua, perikatan melibatkan dua atau lebih orang (Pihak). Suatu perikatan melibatkan dua orang atau lebih yang merupakan para pihak dalam perikatan tersebut. Kedua pihak itu terdiri dari pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian pada satu sisi (Debitur) dan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut pada sisi lain (Kreditur). Dalam hal terjadi pelanggaran, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain, pihak yang dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya sekaligus ganti rugi karena ingkar janji (Wanprestasi). Demikian pula dengan hubungan hukum perikatan yang berasal dari undang-undang, maka pihak yang menimbulkan kerugian itu dapat dituntut berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Ketiga, perikatan termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan. Hal ini berarti hubungan hukum dalam perikatan harus mempunyai pengaruh terhadap harta kekayaan para pihak. Konsekwensi logis dari masuknya perikatan ke dalam lapangan hukum harta kekayaan adalah bahwa perikatan tersebut membawa para pihak kedalam suatu prestasi yang dapat dinilai dengan uang. Jika hubungan hukum tersebut tidak memberi pengaruh atau akibat terhadap harta kekayaan para pihak, maka hubungan hukum tersebut tidak masuk dalam batasan hukum perikatan.

Keempat, Perikatan melahirkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak. Hak tersebut meliputi hak Kreditur untuk menerima prestasi dari Debitur, sedangkan Debitur menjadi pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi tersebut kepada Kreditur. Bagi Debitur, kewajiban tersebut adalah utang yang memberikan Kreditur hak tagih. Menurut Gunawan Widjaja, berdasarkan perikatan yang lahir karena perjanjian dan para pihak yang menerima prestasi, perjanjian dapat digolongkan kedalam perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak hanya melahirkan kewajiban pada salah satu pihak, sedangkan dalam perjanjian timbal balik kewajiban itu lahir bagi kedua belah pihak.

Utang

Suatu perikatan telah menimbulkan hak dan kewajiban, maka dapat kita katakan bahwa perikatan menimbulkan utang-piutang diantara Debitur dan Kreditur. KUHPer sangat menekankan terutama pada unsur kewajiban, sehingga kewajiban merupakan sisi penting dari suatu perikatan. Namun, apakah kewajiban ini sama dengan utang?

Menurut Lee A Weng, utang merupakan kewajiban yang terbit dari adanya hubungan hukum pinjam-meminjam atau perikatan utang-piutang, dimana pihak Debitur berkewajiban melakukan pembayaran utangnya kepada Kreditur yang berupa utang pokok ditambah bunga. Pendapat ini sejalan dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 Desember 1998 No. O3/KN/1998 dalam perkara kepailitan PT. Modernland Reality v.s Drs. Husein Saini dan Johan Subekti. Pendapat Lee A Weng, demikian juga Putusan Mahkamah Agung RI No. 03/KN/1998, dengan demikian telah menempatkan kewajiban sebagai utang. Putusan itu juga telah memberikan pengertian utang yang hanya semata-mata lahir dari suatu perjanjian pinjam-meminjam uang.

Terhadap pendapat tersebut, yang mendasarkan utang hanya pada pinjaman uang, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja tidak menerimanya. Menurut mereka, dalam kasus tersebut Mahkamah Agung RI telah salah menafsirkan utang yang hanya terbatas pada pinjaman uang saja. Mahkamah Agung RI telah menilai sempit pengertian utang. Menurut mereka, “utang” adalah “perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap Debitur dan bila tidak dipenuhi, kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta Debitur”. Dalam pengertian tersebut, pengertian utang yang sempit telah diperluas, sehingga utang tidak hanya mengenai pinjam-meminjam uang, tapi juga segala macam perikatan dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa “kewajiban” adalah “utang”. Kewajiban sama dengan utang. Utang adalah suatu prestasi di dalam lapangan hukum harta kekayaan yang berupa kewajiban Debitur untuk melunasinya kepada Kreditur. Utang tersebut dapat berupa utang untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu, serta berada di lapangan hukum perikatan.

Kepailitan

Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan dalam Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyeleseaian utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya. Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU).

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU), “kepailitan” diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut kamus, pailit berarti “bangkrut” atau “jatuh miskin”. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang. Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt diartikan sebagai: “The state or condition of a person (Individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

Pasal 1131 KUHPer:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”

Pasal 1132 KUHPer:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada setiap individu memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan dan pada sisi negatif disebut perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut akan digunakan untuk memenuhi setiap perikatannya yang merupakan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan. Selanjutnya, pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, mengatur bahwa:

Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

(1)         Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur.

(2)         Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Debitur mempunyai dua atau lebih Kreditur

Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan Debitur Pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga semua Kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara Pari passu dan ProrataPari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing Kreditur terhadap utang Debitur secara keseluruhan.

Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan, Pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.

Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Berdasarkan pasal tersebut, mengenai utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih adalah ketika Debitur melakukan kelalaian dalam perjanjian, dan berdasarkan ketepatan waktu kelalaian tersebut dapat dibedakan atas:

1.  Dalam hal terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian.

Jika dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu tertentu tentang kapan Debitur harus melaksanakan kewajibannya melunasi utang, maka dengan lewatnya jangka waktu tersebut dan Debitur tidak melaksanakan kewajiban utangnya, Debitur sudah dapat dianggap lalai. Mulai sejak saat itu Debitur dianggap lalai karena tidak melaksanakan kewajibannya, dan sejak saat itu pula muncul hak Kreditur untuk melakukan penagihan pelunasan utang melalui lembaga kepailitan.

2.  Dalam hal tidak terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian.

Selain oleh Kreditur dan Debitur sendiri, suatu permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak-pihak lain seperti yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Mereka adalah:

1.  Kejaksaan untuk kepentingan umum.

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

2.  Bank Indonesia dalam hal Debitur adalah bank

Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan.

3.  Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

Permohonan pailit juga dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank.

4.  Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik

(legalakses.com).