Kesepakatan merupakan hidangan penutup dalam sebuah jamuan negosiasi. Sebagai penutup negosiasi, kesepakatan mengikat penawaraan dan penerimaan yang diajukan oleh para pihak secara berlawanan. A tidak akan membeli sebidang tanah milik B jika B tidak menawarkannya kepada A – atau bahkan jika A menawarakannya tapi B menolaknya. Kesepakatan baru akan muncul pada detik diterimanya suatu penawaran – setelah B menerima tawaran A untuk membeli bidang tanah miliknya. Penerimaan penawaran merupakan suatu kondisi dimana para pihak telah mencapai kesesuaian kehendak (meeting of the minds), yaitu tempat bertemunya kepentingan-kepentingan yang berlawanan arus.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata, kesepakatan merupakan salah satu syarat dari sahnya perjanjian. Sebagai syarat perjanjian, kesepakatan harus diberikan secara bebas. Kesepakatan yang tidak bebas berarti munculnya kesepakatan itu disebabkan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan. Suatu perjanjian yang muncul karena khilaf atau lalai, karena penipuan atau tipu muslihat, atau juga karena ancaman baik fisik maupun psikis, sehingga membuat pihak lain terpaksa menandatangani perjanjian mereka yang sebenarnya ingin dihindari, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur “kata sepakat” dan perjanjiannya tidak sah. Terhadap perjanjian yang tidak sah dapat diajukan pembatalan.
Menorehkan hak dan kewajiban diatas secarik kertas dalam bentuk perjanjian tertulis merupakan langkah selanjutnya setelah terjadi kesepakatan. Bahkan sebelum ditandatanganinya perjanjian tertulis tersebut, perjanjian sebenarnya telah hadir meskipun kata sepakat diantara para pihak baru sebatas lisan. Jika diperlukan, hasil negosiasi yang telah disepakati PARA PIHAK dapat dituangkan kedalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) atau MoU. MoU merupakan kesepakatan awal mengenai pokok-pokok perjanjian, yaitu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara detail. (legalakses.com).