Langkah Hukum Jika Perusahaan Tidak Membayar Uang Pesangon Karyawan

Sesuai UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) atau Omnibus Law, seorang karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berhak mendapatkan kompensasi berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Hal ini sebagaimana ditentuakan dalam Pasal 156 Ayat (2) Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja:

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Namun dalam prakteknya, sering karyawan mengalami kesulitan dalam memperoleh haknya tersebut. Kesulitan itu timbul karena memang karyawan tidak memahami haknya, atau disebabkan karena kesengajaan dari pihak perusahaan, atau bisa juga karena sebab-sebab lain. Jikapun hak kompensasi PHK itu dipenuhi oleh perusahaan, tidak jarang juga dilakukan dengan tidak sepenuhnya, atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya dan tidak membayar kompensasi diatas, atau membayarnya tapi tidak sesuai peraturan perundang-undangan, maka perusahaan telah melakukan pelanggaran hak. Terhadap pelanggaran hak tersebut, karyawan berhak untuk mengajukan tuntutan atas haknya yang dilanggar. Untuk menuntut pembayaran uang pesangon yang menjadi haknya, karyawan dapat merundingkannya dengan perusahaan secara internal (bipartit), melibatkan Disnakertrans sebagai pihak ketiga (mediasi) atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Perundingan Bipartit

Untuk menuntut pembayaran uang pesangon dan hak-hak kompensasi akibat PHK lainnya, pertama-tama karyawan dapat menuntutnya secara langsung kepada perusahaan. Karyawan harus menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat dengan perusahaan.

Sesuai UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perusahaan dan karyawan wajib untuk menyelesaikan perselisihan sengketa hubungan industrial, termasuk tidak dibayarnya kompensasi PHK, secara bipartit. Perundingan bipartit merupakan perundingan dua pihak diantara perusahaan dan karyawan dalam menyelesaikan sengketa hak (perselisihan hubungan industrial).

Jadi, Langkah pertama adalah penyelesaian secara internal. Perusahaan dan karyawan harus berunding terlebih dahulu dalam menyelesaikan sengketa mereka untuk mencapai mufakat dan kesepakatan. Perundingan bipartit ini harus diselesaikan maksimal 30 hari kerja sejak perundingan.

Jika perundingan bipartit tersebut mencapai kesepakatan, maka kesepakatan itu dituangkan ke dalam perjanjian bersama. Selanjutnya perjanjian bersama ini yang akan menjadi format penyelesaian perselisihan diantara perusahaan dan karyawan. Perjanjian bersama ini harus didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Mediasi Disnakertrans

Namun jika perundingan bipartit tersebut gagal atau tidak mencapai kesepakatan, atau pengusaha menolak untuk berunding dengan karyawan, maka karyawan dapat mencatatkan perselisihan tersebut ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat (Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi/Disnakertrans). Syaratnya, pencatatan itu harus melampirkan bukti-bukti bahwa perusahaan dan karyawan telah melakukan upaya penyelesaian perselisihan tersebut secara bipartit.

Selanjutnya Disnakertrans akan memediasi kedua belah pihak, perusahaan dan karyawan, melalui mediator yang ditunjuk. Mediator akan berupaya untuk mendamaikan perselisihan kedua belah pihak guna mencapai kesepakatan bersama. Dalam proses mediasi, meskipun kerangka penyelesaian mediator tidak terlalu berorientasi pada peraturan perundang-undangan, namun mediator juga tidak sama sekali mengabaikan aspek hukum.

Jika dari hasil mediasi tersebut tercapai kesepakatan, maka mediator akan membantu para pihak untuk membuatkan perjanjian bersama yang memuat kesepakatan-kesepakatan diantara para pihak. Perjanjian bersama tersebut, setelah ditandatangani perusahaan dan karyawan, kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Perjanjian yang telah didaftarkan akan mempunyai kekuatan hukum tetap layaknya putusan pengadilan.

Gugatan Pengadilan Hubungan Industrial

Namun jika mediasi di Disnakertrans gagal mencapai kesepakatan, mediator akan memberikan anjuran tertulis kepada perusahaan dan karyawan. Anjuran tertulis tersebut menjelaskan tentang duduk perkaranya dan apa saja yang perlu dilakukan oleh para pihak. Selanjutnya mediator meminta kepada perusahaan dan karyawan agar dalam jangka waktu 10 hari memberikan tanggapan terhadap anjuran tertulis tersebut.

Anjuran tertulis tersebut tidak bersifat mengikat, artinya perusahaan dan karyawan bisa menerima atau menolak anjuran tersebut. Perusahaan maupun karyawan, juga dapat menanggapi atau tidak menanggapi anjuran tertulis tersebut. Jika para pihak, atau salah satu pihak, tidak memberikan tanggapannya, maka pihak tersebut akan dianggap menolak anjuran tertulis.

Jika salah satu atau keduanya menolak anjuran, maka barulah masing-masing pihak mempunyai hak untuk melanjutkan penyelesaian sengketa tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial. Syarat diajukannya perselisihan hubungan industrial ini ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah, kedua belah pihak telah menyelesaikan sengketa mereka di Disnakertrans namun mengalami kegagalan (tidak mencapai kesepakatan).

Pihak yang merasa dirugikan, atau yang tidak menerima anjuran tertulis dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lainnya melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Selanjutnya, penyelesaian sengketa akan dilakukan berdasakran hukum acara yang berlaku untuk sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial. (www.legalakses.com).

(Visited 226 times, 1 visits today)
Share:
.

Download Kontrak