MEMBUAT SURAT PERINGATAN (SP) KARYAWAN PERUSAHAAN

youtuber-2838945_1920
Salah satu sebab karyawan dapat di-PHK (pemutusan hubungan kerja) oleh perusahaan, adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya. Pelanggaran berarti, ada garis batas yang diterjang. Di beberapa perusahaan yang hubungan ketenagakerjaannya cukup baik dan established, garis batas itu umumnya tertulis secara obyektif dan nyata, namun bagi perusahaan baru, garis batas itu kadang-kadang kabur.

Kalau seorang karyawan  masuk kerja pukul sembilan, sementara jadwal resminya pukul delapan, maka karyawan itu bisa dibilang telah menabrak garis batas aturan. Perusahaan tentu saja relevan jika memberikan peringatan kepada karyawannya, melalui sebuah surat peringatan (SP), jika jadwal jam kerja itu sering dilanggar karyawan.

Namun apakah juga relevan, jika seorang karyawan staf mengkritik manajernya tentang bagaimana sebuah pekerjaan harus dilakukan secara teknis, kemudian dianggap menabrak garis batas dan juga diberikan peringatan (SP)?

Kedua kasus di atas tentu beda kondisi. Kasus pertama, pelanggaran jam kerja, itu faktual dan jelas karena umumnya ketentuan jam kerja diatur di dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan. Untuk kasus kedua, ini bisa jadi sangat subyektif, karena belum tentu kritik yang dilontarkan oleh karyawan kepada manajernya adalah salah, dan bisa jadi sebaliknya.  

Untuk memberi peringatan kepada karyawan, dalam bentuk surat peringatan (SP), terlebih dahulu harus ada kondisi yang secara definitif disepakati sebagai ketentuan, yaitu peraturan yang relevan. Sebuah kantor perusahaan buka pada pukul delapan, dan seluruh karyawan wajib datang tepat waktu, ini adalah peraturan perusahaan yang secara umum tak terbantahkan (bahkan sering diulang lagi di dalam perjanjian kerja). Namun di banyak perusahaan, pada umumnya tidak ada peraturan mengenai bagaimana cara mengkritik atasan, sehingga kritik ini bisa dikategorikan hanya sebagai etika dan bisa jadi sangat subyektif.  

SP Bersumber Pada Pelanggaran Perjanjian dan Peraturan Perusahaan

Sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), karyawan perusahaan yang melanggar perjanjian kerja (termasuk juga peraturan perusahaan), dapat diberikan peringatan dalam bentuk surat peringatan (SP). Ketentuan ini mengatur bahwa, sumber dikeluarkannya SP tersebut adalah pelanggaran terhadap perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Di dalam perjanjian kerja ditentukan hampir semua aturan main yang berhak dan wajib dilaksanakan oleh karyawan, dan karyawan yang melanggar aturan tersebut pantas diberi SP.

Jadi, sebuah SP baru dapat dikeluarkan oleh perusahaan kepada karyawannya sepanjang terdapat pelanggaran, yaitu pelanggaran terhadap perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Pelanggaran tersebut tidak dapat dinilai secara subyektif berdasarkan pertimbangan sepihak dari perusahaan. Pelanggaran itu harus mempunyai gantungan sebagai dasar berpijak, yaitu perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau peraturan perundang-undangan.

Tujuan Dikeluarkannya SP: Menghindari PHK Langsung

Terlepas dari penyebab dikeluarkannya SP oleh perusahaan, tujuan utama diberikannya SP sebenarnya adalah untuk menghindari PHK secara langsung oleh perusahaan. Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menentukan, bahwa perusahaan dapat melakukan PHK terhadap karyawannya dalam hal karyawan tersebut melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Namun PHK tersebut baru dapat dilakukan dengan syarat: setelah kepada karyawan yang bersangkutan terlebih dahulu diberikan 3 kali SP secara berturut-turut.

Hal ini merupakan upaya dari perusahaan untuk melaksanakan amanat UU Ketenagakerjaan, yaitu perusahaan dan karyawan semaksimal mungkin harus menghindari terjadinya PHK. Namun PHK bukan sesuatu yang terlarang, jika langkah-langkah yang patut untuk menghindari PHK itu telah dilaksanakan, yaitu dengan diberikannya 3 kali SP.

Diberikannya 3 kali SP adalah upaya maksimal, khususnya bagi perusahaan, untuk menghindari PHK langsung. Dengan diberikannya SP, maka tentu ada harapan dari perusahaan bahwa karyawan akan memperbaiki perbuatannya, supaya suasana kerja di perusahaan menjadi normal. Namun jika 3 kali SP itu tidak dapat memperbaiki performa karyawan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya, maka munculah hak perusahaan untuk melakukan PHK.

Jangka Waktu Berlakunya SP

Ketiga surat peringatan tersebut (SP 1, SP 2 dan SP 3), masing-masing berlaku untuk selama jangka waktu paling lama (maksimal) 6 bulan. Ini berarti, jika seorang karyawan melakukan pelanggaran lagi dalam jangka waktu berlakunya SP 1, maka perusahaan dapat mengeluarkan SP 2. Dan begitu seterusnya, jika karyawan melakukan lagi pelanggaran dalam jangka waktu berlakunya SP 2, maka perusahaan dapat mengeluarkan SP 3. PHK dapat dilakukan oleh perusahaan jika dalam jangka waktu berlakunya SP 3 itu karyawan masih juga melakukan pelanggaran.

Namun jika pelanggaran itu dilakukan setelah berakhirnya jangka waktu SP, maka SP terhadap pelanggaran berikutnya akan kembali ke SP 1. Jika jangka waktu SP 1 telah berakhir, kemudian karyawan melakukan pelanggaran lagi, maka perusahaan hanya dapat mengeluarkan SP 1, dan bukan SP 2.

Namun ketentuan mengenai jangka waktu berlakunya SP selama 6 bulan ini adalah ketentuan maksimal (paling lama). Artinya perusahaan, di dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaannya, dapat menentukan jangka waktu berlakunya SP ini kurang dari 6 bulan (tapi tidak boleh lebih dari 6 bulan). Misalnya, karena jangka waktu 6 bulan dirasa terlalu lama, maka perusahaan dapat menentukan jangka waktu masa berlakunya SP ini untuk 3 bulan atau bahkan 1 bulan saja.

Apabila ketiga SP tersebut tidak juga memberikan pengaruh kepada kinerja karyawan atas pelanggran yang dilakukannya, maka pada saat itu munculah hak perusahaan untuk melakukan PHK. Namun meskipun PHK ini bersumber dari pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan, hal itu tidak menghilangkan hak-hak karyawan atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Hal ini seperti ditentukan di dalam Pasal 161 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).