Jika seorang debitur melakukan wanprestasi kontrak, maka secara hukum kreditur berhak untuk menuntut pembatalan kontrak itu sekaligus ganti ruginya melalui pengadilan. Hak menuntut dari kreditur muncul karena kerugian yang dideritanya itu disebabkan oleh kesalahan debitur dalam pelaksanaan kontrak. Di sini unsur kesalahan mempunyai nilai yang sangat penting, bahkan menentukan, sebab orang yang tanpa kesalahan tidak dapat dihukum untuk mengganti sebuah kerugian.
Pentingnya unsur kesalahan ini karena bisa saja terjadi, meskipun debitur tidak melaksanakan kewajibannya, ia tidak bersalah. Misalnya, tidak terlaksananya kewajiban itu disebabkan karena keadaan memaksa (overmacht atau force majeure). Unsur keadaan memaksa itulah yang menghilangkan unsur kesalahan debitur, sehingga debitur tidak dapat dituntut membayar ganti rugi.
Untuk dapat menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi melalui pengadilan, pertama-tama kreditur harus memastikan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi – dan wanprestasi itu terjadi karena kesalahannya. Hak-hak kreditur untuk menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1243 dan 1267 KUHPerdata:
- Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
- Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Sesuai ketentuan di atas, agar kreditur dapat menuntut pembatalan kontrak dan ganti rugi kepada debitur, maka terlebih dahulu debitur harus dalam keadaan wanprestasi. Untuk menentukan debitur berada dalam keadaan wanprestasi, pertama-tama perlu ditentukan jangka waktu tertentu sebagai batas waktu untuk debitur melaksanakan kewajibannya. Jika kontrak tersebut menentukan jangka waktu tertentu bagi pelaksanaan kewajiban debitur, maka menentukan wanprestasi ini mudah saja, yaitu jika jangka waktu sesuai isi kontrak telah dilewati namun debitur tidak melaksanakan kewajibannya.
Namun kesulitan akan muncul jika sebuah kontrak tidak menentukan suatu jangka waktu tertentu sebagai batas akhir debitur melaksanakan kewajibannya. Solusinya dapat kita temukan dalam Pasal 1238 KUHPerdata sebagai berikut:
Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Berdasarkan pasal di atas, keadaan lalai (wanprestasi) dapat ditentukan dalam dua keadaan, pertama dengan surat perintah atau surat peringatan dari kreditur kepada debitur agar debitur melaksanakan prestasi kontraknya dalam jangka waktu tertentu, kedua jika waktu yang ditentukan dalam kontrak telah berakhir.
Jika kontrak tidak menyebutkan suatu jangka waktu tertentu sebagai batas waktu pelaksanaan kewajiban, maka surat perintah atau surat peringatan (somasi) akan melengkapi jangka waktu tersebut. Somasi (somatie atau legal notice) berisi peringatan, bahwa debitur harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan di dalam somasi tersebut. Jika jangka waktu pelaksanaan kewajiban yang telah ditentukan dalam somasi tidak dilaksanakan oleh debitur, maka debitur dapat dianggap telah melakukan wanprestasi.
Jika di dalam kontrak telah ditentukan jangka waktu pelaksanaan kewajiban, maka somasi tidak lagi diperlukan. Jika sesuai kontrak seorang penjual berkewajiban untuk mengirimkan barang pada tanggal 1 Oktober, maka setelah lewatnya waktu tersebut tapi penjual tidak juga mengirimkan barangnya, maka penjual telah melakukan wanprestasi.
Jadi, somasi merupakan salah satu sarana hukum untuk menentukan saat lahirnya wanprestasi – ketika kontraknya tidak menentukan jangka waktu pelaksanaan kewajiban bagi debitur. Dengan lahirnya wanprestasi maka kreditur berhak untuk menuntut pembatalan dan ganti rugi. Jika debitur tidak memenuhi tuntutan itu secara sukarela, maka kreditur dapat menggugatnya ke Pengadilan.
Dulu somasi diartikan sebagai sebuah akta otentik karena harus dibuat oleh juru sita pengadilan. Namun sekarang, sesuai doktrin dan yurisprudensi, somasi tidak perlu lagi dibuat dalam bentuk akta otentik. Somasi tidak perlu dibuat oleh pejabat umum, misalnya juru sita pengadilan atau notaris, tapi somasi dapat dibuat sendiri oleh kreditur secara di bawah tangan.
Namun, meskipun somasi dibuat untuk menentukan waktu tepat terjadinya kelalaian atau wanprestasi, karena kontrak tidak menyebutkan waktu khusus pelaksanaan kewajibannya, dalam prakteknya somasi digunakan untuk hampir semua kontrak. Dalam praktek, somasi sering juga digunakan untuk kontrak-kontrak yang secara tegas mencantumkan tanggal pelaksanaan kewajiban. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa somasi juga diajukan terhadap debitur yang lalai, meskipun dalam kontrak mereka telah dengan tegas menyatakan tanggal berapa barang harus diterima oleh pembeli – atau tanggal berapa sebuah bangunan harus sudah diselesaikan oleh kontraktor.
Format Surat Somasi
Karena tak ada ketentuan mengenai formatnya, maka bentuk surat somasi memiliki format yang bebas – sepanjang surat itu mengandung peringatan pernyataan lalai dan jangka waktu pelunasan kewajibannya. Meski secara hukum somasi cukup dilakukan hanya sekali, namun dalam prakteknya sering kreditur menyampaikan somasi itu sampai berkali-kali. Dalam praktek, somasi biasanya dilakukan sampai dua atau tiga kali (Somasi 1, Somasi 2 dan somasi-3), meski ada juga kreditur yang menyampaikannya sampai puluhan kali somasi saking inginnya menyelesaikan wanprestasi mereka di luar Pengadilan.
Somasi pertama umumnya berupa peringatan yang bersifat soft, karena kreditur biasanya masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut debitur akan dengan sukarela melaksanakan isi somasi. Somasi pertama biasanya juga tidak terlalu keras dalam memberikan peringatan, karena kreditur masih mempunyai kepentingan untuk mengajak debitur melakukan perundingan. Dalam somasi pertama, sering kreditur mengundang debitur ke kantornya untuk merundingkan kontrak mereka dan menyelesaikannya. Bahkan, dalam somasi pertama kata somasi cenderung tidak digunakan, dan kebanyakan kreditur lebih menyukai istilah Surat Teguran atau Surat Peringatan ketimbang Somasi.
Jika somasi pertama tak dihiraukan, atau ditanggapi tapi tidak memuaskan, atau kreditur dan debitur berhasil melakukan perundingan tapi mereka tidak mencapai kesepakatan, maka kreditur dapat melayangkan somasi kedua. Dalam somasi kedua kreditur memberikan peringatan yang lebih tegas dari sebelumnya, dimana kreditur telah mengarahkan wanprestasi kontrak langsung pada alternatif-alternatif penyelesaian yang diharapkan. Dalam somasi kedua kreditur juga mulai memberikan ancamannya berupa gugatan hukum jika debitur tak mengindahkan isi somasi. Meskipun telah memberikan sinyal kuat ancaman perang, namun kreditur masih tetap membuka peluang untuk berdamai.
Dalam somasi ketiga, yang diajukan karena debitur tak juga memberikan penyelesaian yang memuaskan, ancaman kreditur sudah menyempit dan sangat tegas. Dalam somasi ketiga biasanya kreditur hanya memberikan dua pilihan: laksanakan atau digugat. Dan jika somasi ketiga inipun tak memberikan penyelesaian yang memuaskan, barulah kreditur meniupkan terompet perangnya, meminta pengacaranya untuk menyusun surat gugatan pengadilan.
Artikel terkait: