Menjual Tanah Non-Sertifikat Yang Tidak Tersedia Surat Tanahnya

Bagikan artikel ini

Menjual tanah bersertifkat, sepanjang dokumen pendukungnya lengkap, sebenarnya tidak rumit. Penjual tinggal mencari pembeli yang berani menawar sesuai harga, buat kesepakatan pajak penjual dan pembeli (PPH dan BPHTB), kemudian datangi pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan minta dibuatkan AJB (Akta Jual beli) – bila perlu terlebih dahulu minta dibuatkan PPJB (Perjanjian pengikatan Jual beli). Penjual tinggal menyerahkan sertifikat itu ke PPAT, duduk manis, terima uang, dan transaksi selesai.

Menjual tanah non-sertifikat juga sebenarnya tidak rumit. Penjual dan pembeli dapat membuat perjanjian jual beli yang tidak wajib melalui PPAT – meski tetap disarankan melalui PPAT. Dalam perjanjian jual beli tersebut, surat tanah non-sertifikat yang biasanya dalam bentuk SKT (Surat Keterangan Tanah), SPT (Surat Pernyataan Tanah) dan tanah hak lama (girik, letter C, pethuk D), merupakan dasar transaksi antara penjual dan pembeli.

Namun agak rumit jika tanah non-sertifikat yang akan dijual tidak ada surat tanahnya. Dalam praktek, ini sering terjadi, khusunya di wilayah pedesaaan – bahkan beberapa kasus banyak juga terjadi di kota besar. Hal ini karena kebiasaan masyarakat di pedesaan yang tak ingin terlalu rumit memikirkan aspek hukum transaksi jual beli tanahnya. Bagi mereka, misalnya, cukup hanya dengan menyediakan kwitansi saja sebagai bukti telah dilakukan pembayaran.

Kesulitan akan ditemui jika tanah tersebut nantinya akan disertifikasi di kantor pertanahan (BPN). Dalam rangka permohonan sertifikasi, BPN akan meminta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan riwayat tanah sebagai syarat untuk pembuktian – termasuk surat tanah, peta ukurnya, dan perjanjian pengalihannya. Meskipun tanpa surat-surat tersebut masih bisa diajukan sertifikasi di BPN, namun kelengkapan dokumen riwayat tanah akan memudahkan pembuktian dalam proses sertifikasi.

Jika penjual akan melakukan transaksi jual beli tanah non-sertifikat namun surat tanahnya tidak tersedia karena hilang atau sebab lainnya, sebaiknya diupayakan terlebih dahulu ketersediaan surat tanah tersebut. Surat tanah diperlukan sebagai bukti penguasaan tanah yang akan menjadi dasar dari perjanjian. Untuk itu pihak penjual terlebih dahulu perlu mendatangi kelurahan dan kecamatan untuk membuat SKT/SPT. Atau, sekalian untuk meningkatkan nilai jual tanahnya, penjual juga bisa langsung mendatangi kantor pertanahan (BPN) dan mengajukan permohonan sertifikasi. Setelah bukti penguasaan tanah ditangan, barulah dilakukan transaksi.

Sertifikat Tanah vs Surat Tanah

Sertifikat tanah merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan, sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), merupakan alat bukti yang kuat untuk membuktikan kepemilikan tanah seseorang. Misalnya Sertifikat Hak Milik (SHM), yang dengan sertifikat tersebut pemegang SHM dapat membuktikannya secara kuat dan penuh kepemilikan tanahnya.

Beda halnya dengan SKT/SPT dan surat tanah lainnya, karena surat-surat tersebut tidak membuktikan kepemilikan melainkan membuktikan penguasaan. Pada prinsipnya, tanahnya sendiri adalah tanah negara, sedangkan pemegang SKT/SPT hanya diberi kewenangan untuk menguasai dan menggunakannya. Jadi, pemegang SKT/SPT hanya menguasai tanah tapi tidak memilikinya.

Di setiap wilayah istilah surat tanah ini berbeda-beda. Beberapa wilayah menyebutnya SKT (Surat Keterangan Tanah), dan wilayah lain menyebutnya SPT (Surat Pemilikan Tanah). Namun meski berbeda, pada umumnya mengandung konten yang hampir sama, yaitu data fisik, data yuridis dan otentikasi instansi berwenang tentang tanahnya. Data-data tersebut antara lain:

Data Fisik, berisi data mengeni:

  • Lokasi tanah
  • Luas tanah
  • Peta hasil pengukuran
  • Keterangan mengenai pemilik tanah-tanah yang berbatasan

Data Yuridis, berisi data mengenai:

  •  Identitas pihak yang menguasai tanah

Otentikasi Dari Instansi Berwenang, berisi data mengenai:

  • Penandatanganan oleh Kepala Kelurahan/Desa dan memiliki nomor register Kelurahan
  • Penandatanganan oleh kepala Kecamatan dan memiliki nomor register Kecamatan
  • Penandatanganan oleh saksi-saksi yang merupakan pemilik tanah-tanah berbatasan (samping kanan, samping kiri, depan, belakang)

Alternatif Pelaksanaan Transaksi Jika Surat Tanah Tidak Tersedia

Salah satu prinsip dari perjanjian, yang juga merupakan syarat sahnya perjanjian, adalah adanya obyek yang terang dan jelas (suatu hal tertentu). Tanah yang diperjual belikan harus jelas data fisik, yuridis, dan instansi berwenang yang melakukan otentikasinya. Dalam arti jelas ukuran, letak, pemilik, dan saksi-saksinya.

Ketiadaan surat tanah dalam transaksi akan membuat obyek tanahnya kurang definitif, baik fisik maupun legal. Meskipun dalam perjanjiannya disebutkan letak, ukuran dan lokasi tanah, namun klausul tersebut hanya merupakan klaim pihak penjual yang disetujui oleh pembeli. Perlu diingat, bahwa tanah adalah benda bergerak yang pengalihannya, termasuk jual belinya, harus melibatkan otoritas publik. Dengan adanya surat tanah, maka di sana sudah ada keterlibatan pejabat publik, yaitu pengesahan dari Kepala Kelurahan dan Kepala Kecamatan.

Terkait hal diatas, untuk menjual tanah non-sertifikat yang tidak ada surat tanahnya, berikut beberapa alternatif yang dapat dilakukan:

  • Terlebih Dahulu Membuat Surat Tanah

Upayakan surat tanah itu tersedia. Penjual bisa mendatangani kantor Kelurahan untuk memperolehnya. Setelah diminta menyiapkan persyaratan dan diproses sampai kantor Kecamatan, penjual akan memperoleh surat tanah. Surat tanah tersebut merupakan dasar hukum untuk membuat perjanjian jual beli tanah.

  • Libatkan Kepala Kelurahan dan Kepala Kecamatan Dalam Transaksi

Selain terlebih dahulu membuat surat tanahnya, pembeli bisa juga langsung melakukan transaksi jual beli tanah tanpa surat tanah tersebut. Namun, karena tanah merupakan benda tidak bergerak yeng pengalihannya harus melibatkan pejabat publik, maka sebaikanya transaksi tersebut dilakukan di hadapan PPAT Kecamatan. Setelah persyaratan dipenuhi dan pemeriksaan dilakukan, penjual dapat melakukan transaksi tersebut di hadapan PPAT Camat.

  • Langsung Melakukan Sertifikasi

Meskipun jual beli tanah non-sertifikat dapat dilakukan dengan hanya menggunakan surat tanah, namun ada baiknya jika dilakukan sertifikasi terlebih dahulu sebelum menjual. Hal ini dapat meningkatkan nilai jual tanah. Pada umumnya, tanah bersertifikat memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan tanah non-sertifikat. Nilai jual yang lebih tinggi ini diperoleh karena pembeli tidak lagi dibebani pekerjaan rumah untuk melakukan proses sertifikasi tanah nantinya. Untuk proses sertifikasi, calon penjual dapat langsung mengajukan permohonan sertifikasi ke BPN. Meski tidak ada surat tanah, namun peraturan pemerintah pendaftaran tanah masih membuka kesempatan untuk dapat dilakukannya sertifikasi, yaitu dengan menggunakan berbagai cara pembuktian yang memungkinkan.  

Untuk melakukan transaksi dan melalui prosedur diatas, sebaikanya penjual tanah berkonsultasi dengan kantor kelurahan dan kecamatan setempat. Hal ini karena tiap-tiap daerah memiliki prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. (Dadang Sukandar, S.H./www.legalakses.com).

Tips Hukum Dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan: