Menyusun Perjanjian Kerja Sama Suplai Barang Perusahaan Swasta (Perjanjian Suplai Barang)

Bagikan artikel ini

Pada prinsipnya, kegiatan suplai barang untuk perusahaan swasta (pengadaan barang), baik secara kontinyu maupun sekali pasok, adalah kegiatan jual beli, sama seperti transaksi jual beli barang pada umumnya. Ketentuan hukum yang mengaturnya tidak terlalu rigid seperti halnya pengadaan barang untuk pemerintah yang harus dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden. Pengadaan barang untuk perusahaan swasta, oleh supplier, dasarnya adalah ketentuan mengenai jual beli barang pada umumnya sesuai Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Secara hukum, kegiatan jual beli barang (dan jasa) merupakan perjanjian. Perjanjian itu mengatur, seorang penjual berkewajiban menyerahkan barang dan pembeli wajib menyerahkan harga barangnya. Ketentuan ini, secara umum, diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata:

 Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.   

Contoh sederhananya, seperti ketika Anda membayar harga air mineral di kasir Indomaret. Ketika Anda membayar harga air mineral yang diambil dari show case, maka Anda dan kasir sedang menutup sebuah perjanjian – Anda sedang menyelesaikan transaksi jual beli Anda. Meskipun Anda dan kasir Indomaret tidak terang-terangan membuat perjanjian tertulis, atau setidaknya mengucapkan janji-janji tertentu mengenai barang dan harganya, tapi perjanjian itu dianggap telah terjadi ketika uang Anda sudah masuk ke mesin kasir.

Begitu juga dalam kegiatan suplai barang di perusahaan swasta. Vendor bahan baku, pada prinsipnya sedang menjual bahan baku pabrik kepada perusahaan mitranya untuk kegiatan produksi. Bedanya, dalam kegiatan suplai barang di perusahaan swasta, misalnya bahan baku pabrik, transaksi jual belinya telah dimodifikasi sehingga nampak tidak sesederhana ketika Anda membeli air mineral di Indomaret.

Ketika sebuah pabrik sepatu meminta perusahaan katering mitranya untuk menyuplai 1000 porsi makanan setiap hari, untuk makan siang para buruh pabriknya, permintaan itu dilakukan dengan berbagai syarat dan ketentuan. Misalnya, jaminan untuk menyuplai katering secara kontinyu (setiap hari), yang tentu saja dengan spesifikasi kualitas yang juga sudah ditentukan – termasuk jadwal pengantaran harian dan cara mengemasnya.

Dalam suplai barang (makanan) seperti di pabrik tersebut, transaksi jual belinya nampak lebih rumit karena biasanya para pihak dibatasi oleh banyak sekali persyaratan. Persyaratan itu muncul karena jumlah barang yang dipesan dalam jumlah besar, dan nilai akumulasinya tentu tidak sedikit.

Karena melibatkan transaksi yang besar dan berkala, kerja sama suplai barang ini harus memastikan persyaratan: kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Supplier barang harus bisa memastikan bahwa barang yang dipesan senantian ready stock, dikirim sesuai dengan kualitas pesanan dan menjamin dilakukan secara terus-menerus.

Dalam teknis pelaksanaannya, kegiatan suplai barang ini tentu terikat dengan banyak lagi syarat dan ketentuan. Ketentuan itu mulai dari cara memesan barang, serah terima barang dan retur sampai cara pembayaran. Teknis operasional ini tentu saja harus berpedoman pada ketiga prinsip tadi: kuantitas, kualitas dan kontinuitas.

Pengikatan Kerja Sama Dengan Perjanjian (Kontrak)

Untuk menjaga ketiga prinsip tadi (kuantitas, kualitas dan kontinuitas), sebuah kerja sama suplai barang sebaiknya didasarkan pada perjanjian tertulis. Perjanjian ini yang memastikan, agar kuantitas, kualitas dan kontinuitas suplai barang tetap terjaga secara teknis operasional. Dan agar perjanjian itu tidak hanya menjadi secarik kertas yang formalitas saja, maka perjanjian suplai barang itu perlu diberi sentuhan daya paksa.

Daya paksa tersebut maksudnya kekuatan yang dapat memaksa para pihak untuk berkomitmen melaksanakan perjanjian, misalnya dengan memberlakukan denda. Perusahaan supplier harus tepat waktu mengantarkan barangnya ke gudang pabrik, sebab jika tidak maka ia bisa dikenakan denda – misalnya dalam bentuk diskon harga barang sebesar 1% untuk setiap kali supplier terlambat mengantarkan barang.

Untuk menegaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian pemasokan barang ini juga perlu mengatur beberapa ketentuan teknis operasional yang rigid, agar proses suplai barang dapat berlansung sesuai dengan kauntitas, kualitas dan kontinuitas yang dibutuhkan klien. Beberapa ketentuan itu misalnya penegasan spesifikasi barang, teknis pengangkutan dan serah terima barang, penentuan harga barang dan cara pembayarannya serta denda keterlambatan.

Klasusul Spesifikasi Barang Sedetail Mungkin

Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bias, maka dalam perjanjian suplai barang perlu ditegaskan jenis dan spesifikasi barangnya. Semakin detail penegasan itu dicantumkan dalam kontrak, tentu akan semakin baik. Misalnya, jika perusahaan konveksi Anda meminta suplai rutin kain bahan pembuatan baju setiap bulannya, maka perlu dirinci spesifikasi kain tersebut mulai dari jenis bahan, ketebalan sampai warnanya.

Ini penting untuk menghindari kesalahpahaman pengiriman barang. Misalnya, Anda membutuhkan kain katun untuk seragam sekolah, tapi yang dikirim kain kanvas untuk jaket lapangan. Nah, untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, tentunya merinci spesifikasi barang dalam kontrak adalah kegiatan yang cukup penting.

Kalau perlu, apabila varian barang yang akan disuplai cukup banyak, Anda dapat memberikan kode tertentu untuk masing-masing varian, sehingga dalam purchase order (PO) Anda hanya perlu menyebutkan kode barangnya – dan supplier bisa langsung menentukan barang mana yang harus dikirim.

Prosedur Pemesanan Barang

Jika di dalam kontrak tidak ditentukan jadwal tetap pengiriman barang dan jenis barangnya, maka  proses dan prosedur pemesanan barang, sebelum barang dikirimkan, patut menjadi perhatian para pihak. Jika jadwal tetap pengiriman barang sudah ditentukan, maka tentu tidak diperlukan lagi prosedur pemesanan barang.

Dalam kegiatan suplai makan siang untuk buruh pabrik, yang umumnya dilakukan setiap hari, tidak diperlukan lagi proses pemesanan menu makanan – menu apa saja yang harus dikirim pada hari Selasa dan hari Kamis? Jadwal tersebut sudah bisa ditetapkan secara pasti di dalam perjanjian suplai barangnya pada saat kerja sama dimulai.

Lain halnya jika pengiriman barang dilakukan secara tidak tetap, artinya pengiriman barang tersebut dilakukan berdasarkan kebutuhan perusahaan pemesan barang, yang kebutuhannya juga tidak tetap. Misalnya, pemesanan kain oleh sebuah perusahaan konveksi, jumlah dan jenisnya tergantung dari proyek yang sedang mereka garap: seragam sekolah, militer atau seragam perusahaan swasta. Dan bukan hanya jenis barangnya, kadang jadwalnyapun tidak tetap, tergantung dari jadwal proyek mereka. Untuk kondisi-kondisi tersebut, dalam kontrak suplai barang perlu diatur prosedur pemesanan barang. Prosedur ini meliputi kuantitas dan kualitas barang serta jadwal pengiriman.

Pemesanan itu biasanya dilakukan berdasarkan purchase order (PO). Dalam PO biasnaya disebutkan spesifikasi barang, kuantitasnya, jadwal penerimaan dan ke mana barang tersebut dikirimkan. Meski kelihatannya bersifat administratif, tapi secara hukum purchase order merupakan kelanjutan dari perbuatan hukum kontraknya. PO adalah pelaksanaan dari ketentuan kontrak dan bagian tak terpisahkan dari kontraknya itu sendiri. Sebab itu, selain bernilai administratif, sebuah PO juga bersegi hukum. PO merupakan bukti hukum bahwa pembeli telah memesan barang dan penjual menerima pesanan tersebut – dan prosedur ini telah menimbulkan hak dan kewajiban diantara pemesan barang dan supplier.

Serah Terima Barang

Di mana barang itu diserahterimakan, ini juga merupakan hal yang cukup penting. Sesuai KUHPerdata, jika para pihak tidak menentukan di mana barang itu diserahterimakan, maka secara hukum serah terima barang dianggap dilakukan di tempat dimana transaksi jual beli tersebut ditutup, meskipun harganya belum dibayar.

Dalam kegiatan suplai barang, jika para pihak tidak menentukan tempat dilakukannya serah terima barang, maka barang tersebut dianggap diserahterimakan di tempat di mana purchase order yang diajukan pembeli diterima oleh penjual, yaitu di gudang milik penjual. Kondisi ini membawa konsekwensi bahwa pembeli mempunyai kewajiban untuk mengangkut sendiri barang tersebut ke gudang miliknya. Dengan demikian maka ongkos pengangkutan, termasuk kemanan barang selama di perjalanan, menjadi tanggung jawab dari pembeli sendiri.

Namun dalam prakteknya kenetuan ini biasanya disimpangi. Untuk mengefisiensikan proses suplai barang, dalam praktek biasanya barang diserahterimaka di gudang milik pembeli. Pada perusahaan pengolahan karet setengah jadi (bokar), karet mentah biasanya dikirim ke gudang pabrik milik pembeli dan di sanalah karet mentah tersebut ditimbang dan dibayar. Dalam harga pembayaran tentu saja penjual telah memperhitungkan segala ongkos yang mungkin dikeluarkan.

Dalam kontrak suplai barang, penting sekali untuk mengatur ketentuan proses serah terima barang ini: dimana barang diserahterimakan? Dan bisanya, dalam ketentuan tersebut, serah terima barang dilakukan di gudang pembeli. Untuk membuktikan telah dilakukannya serah terima barang tersebut di gudang milik pembeli, maka sebaiknya dibuatkan tanda penerimaan barang yang ditandatangani oleh wakil dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Tanda terima serah terima barang ini merupakan bukti telah dilakukannya penerimaan barang secara sempurna, sehingga kemudian terbitlah hak tagih dari penjual atas harga barangnya. Sekali lagi tanda terima ini bukan sekedar prosedur administratif, tapi punya nilai pembuktian hukum.

Menentukan Harga Barang dan Cara Pembayarannya

Harga barang tentu saja wajib dicantumkan dalam kontrak pengadaan barang. Jika pembelian barang dari supplier dilakukan secara tetap, dari waktu ke waktu, maka di dalam kontrak harga barang tersebut sudah bisa ditentukan jumlahnya. Misalnya, jika sebuah perusahaan katering menyuplai makanan 1000 porsi sehari untuk makan siang karyawan sebuah pabrik sepatu, dan suplai ini secara rutin dilakukan setiap hari, maka di awal kontrak tentu harganya sudah bisa ditentukan dan pembayaran bisa dilakukan secara reguler – misalnya berdasarkan invoice mingguan atau bulanan.

Beda halnya dengan suplai barang dengan jenis dan jadwal yang tidak tetap, misalnya perusahaan konveksi. Untuk musim awal semester sekolah mungkin perusahaan tersebut banyak membuat seragam sekolah, namun di musim kampanye politik lebih banyak membuat kaos. Dalam kerja sama suplai seperti ini tentunya penentuan harga beli kain tidak dapat ditentukan secara pasti, akan tetapi berdasarkan proyek yang sedang dikerjakan. Dalam kerja sama suplai seperti ini, penentuan harga bisa dilakukan per-item harga kain, dan penentuan total harganya ditentukan berdsarkan jumlah pesanan – dan pembayarannyapun bisa dilakukan dalam setiap melakukan transaksi pembelian.

Denda Keterlambatan

Anda bisa menambahkan klausul mengenai denda keterlambatan di dalam kontrak. Klausul ini pada intinya menentukan, bahwa jika supplier terlambat mengantarkan barang pesanan, maka supplier akan dikenakan denda keterlambatan, misalnya denda sebesar 1% dari harga total pembelian barang untuk setiap 1 hari keterlambatan.

Klausul ini berfungsi terutama untuk memaksa supplier agar tidak terlambat dalam mengirimkan barangnya. Jika terlambat, konsekwensinya bisa merugikan supplier sendiri karena ia akan dikenakan denda. Denda ini bisa ditentukan, misalnya, dengan cara memotong langsung total harga pembelian barang – pastikan di dalam kontraknya pembeli barang telah mendapatkan kuasa terlebih dahulu dari supplier untuk melakukan pemotongan langsung tersebut.

(Dadang Sukandar, SH./www.legalakses.com)

DOWNLOAD