Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buahbuahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”. (QS. Al-Baqarah [2]: 155-156)
Dari Nabi saw sesungguhnya beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. al-Bukhari)
Mewabahnya virus COVID-19, atau corona, yang saat ini menghantui bukan hanya masyarakat Indonesia tapi juga dunia, tentunya membuat kita semua merasa khawatir dan waspada. Bahkan, sebagian dari masyarakat cenderung panik. Wabah virus yang telah dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO ini memberikan multi efek yang serius pada berbagai segi kehidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, politik, juga dalam pelaksanaan ibadah agama.
Hal ini karena pemerintah menyarankan agar masyarakat melakukan tindakan-tindakan social distancing dan menghindari social gathering, saling menjaga jarak secara fisik satu sama lain dan menghindari kerumunan orang, ini sebagai tindakan antisipatif dalam mengurangi dan memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19 yang progresif dan massif. Bahkan beberapa negara sudah melakukan lockdown sebagai antisipasi.
Sebagian masyarakat di Indonesia tentu bertanya-tanya, khususnya umat muslim, jika tindakan yang direkomendasikan selama masa wabah ini adalah menjaga jarak secara fisik antara satu orang dengan yang lain, dan juga menghindari kerumunan orang, lalu bagaimana dengan pelaksanaan sholat berjamaah di mesjid sesuai tuntunan agama, khususnya sholat Jumat? Apakah boleh meninggalkan sholat berjamaah yang wajib dan menggantikannya dengan sholat sendirian di rumah?
Untuk menjawab kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat tersebut, Majelis Ulama Indonesia, atau MUI, telah mengeluarkan fatwanya. Pada tanggal 16 Maret 2020, MUI telah mengeluarkan Fatwa Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang PENYELENGGARAN IBADAH DALAM SITUASI TERJADI WABAH COVID-19. Fatwa ini memberikan arahan kepada masyarakat muslim tentang bagaimana menyelenggarakan ibadah, khususnya sholat berjamaah di mesjid, dalam situasi mewabahnya virus COVID-19. Termasuk di dalamnya memberikan arahan tentang tindakan-tindakan lain apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh umat muslim, dan tindakan yang diharamkan.
Menurut fatwa tersebut, pada prinsipnya setiap orang wajib melakukan ikhtiar dalam menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpaparnya penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama, al-Dharuriyat al-Khams. Berdasarkan prinsip ini, maka berikut adalah beberapa arahan MUI bagi umat muslim di Indonesia dalam melaksanakan ibadah agamanya di masa sulit dan pandemi ini:
Orang Yang Sudah Terpapar COVID-19
Orang yang sudah terpapar virus COVID-19 wajib untuk menjaga dan mengisolasikan dirinya agar tidak menular kepada orang lain. Bagi orang yang sudah terpapar virus COVID-19, sholat Jumatnya bisa diganti dengan sholat Zuhur di rumah. Hal ini karena shalat Jumat merupakan sholat wajib yang melibatkan banyak orang, dan ini berpotensi terjadinya penularan virus secara massal.
Bahkan, bagi orang yang sudah terpapar virus COVID-19, haram baginya untuk melakukan ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti berjamaah dalam shalat lima waktu dan sholat rawatib, atau shalat Tarawih atau sholat Ied di masjid atau tempat umum, termasuk menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
Orang Sehat Yang Belum Diketahui Tepapar COVID-19 Atau Tidak
Bagi orang yang masih sehat dan belum diketahui, atau diyakini, dia terpapar atau tidak dengan virus COVID-19, maka kalau dia berada di kawasan yang potensi penularannya tinggi, atau sangat tinggi, dia boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediamannya. Begitu juga dengan shalat berjamaah lima waktu, sholat rawatib, tarawih, dan sholat ied, dapat digantikan dengan sholat di rumah.
Sedangkan bagi orang yang yang belum diketahui terpapar ini, yang berada di dalam kawasan yang potensi penularannya rendah, maka dia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadahnya seperti biasa. Namun demikian, orang tersebut wajib melakukan tindakan antisipasi, menjaga dirinya agar tidak terpapar virus COVID-19. Tindakan antisipasi itu bida dilakukan dengan tidak melakukan kontak fisik secara langsung, misalnya bersalaman, berpelukan atau cium tangan, dan disarankan membawa sajadah sendiri dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Dan, yang dimaksud “kawasan yang potensi penularannya rendah, tinggi, atau sangat tinggi ini”, adalah Kawasan yang ditentukan berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang.
Dalam Kondisi Penyebaran Virus COVID-19 Tidak Terkendali
Nah, sekarang kalau di suatu Kawasan penyebaran virus COVID-19 ini tidak terkendali dan mengancam jiwa, maka umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut sampai keadaan menjadi normal kembali. Untuk menggantikan sholat Jumat tersebut, umat Islam wajib melakukan shalat zuhur di tempat masing-masing.
Selain sholat Jumat, di Kawasan yang penyebaran virus COVID-19 ini tidak terkendali, umat Islam juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran virus. Misalnya, shalat lima waktu berjamaah, termasuk sholat rawatib, shalat Tarawih dan sholat Ied di masjid atau tempat umum, termasuk juga menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
Dalam Kondisi Penyebaran Virus COVID-19 Terkendali
Berbeda halnya dengan Kawasan yang penyebaran virus COVID-19-nya tidak terkendali, dalam kawan yang penyebaran virusnya cukup tekendali maka umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di mesjid atau tempat umum. Umat Islam juga masih dapat menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar virus COVID-19 ini.
Pengurusan Jenazah Terpapar Virus COVID-19 dan Penimbunan Kebutuhan Pokok
Selain menetapkan beberapa hal mengenai aktifitas ibadah dan majelis taklim, fatwa MUI juga menetapkan ketentuan mengenai pengurusan jenazah (tajhiz al-janaiz) dan penimbunan kebutuhan pokok karena kepanikan masyarakat.
Bagi jenazah yang terpapar virus COVID-19, terutama dalam memandikan dan mengafaninya, harus dilakukan sesuai protokol medis, dilakukan oleh pihak yang berwenang, sekaligus tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya, dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar virus COVID-19.
Kepada masyarakat, yang umumnya panik karena wabah ini dan melakukan penimbunan kebutuhan pokok untuk melewati masa-masa sulit, maka tindakan tersebut dapat menimbulkan kepanikan bagi warga masyarakat lainnya. Tindakan tersebut, yang menimbulkan kepanikan dan bisa menyebabkan kerugian publik, seperti memborong atau menimbun bahan kebutuhan pokok, merupakan tindakan yang haram untuk dilakukan. Pemborongan dan penimbunan itu termasuk penimbunan masker dan menyebarkan informasi hoax terkait COVID-19.
Rekomendasi Kepada Pemerintah
Demikian tadi beberapa poin penting terkait pelaksanaan ibadah bagi umat Muslim dalam masa-masa mewabahnya virus COVID-19. Dalam fatwa ini MUI juga meminta kepada Pemerintah, agar menjadikan fatwa tersebut sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan penanggulangan COVID-19, khususnya untuk hal-hal yang terkait dengan masalah keagamaan, dan atas kebijakan tersebut umat Islam wajib menaatinya.
Demikian sobat legal akses, beberapa poin yang menjadi arahan MUI mengenai pelaksanaan ibadah di masa-masa sulit pandemi COVID-19 ini. Jadi, bagi Anda umat Islam yang masih bingung dalam melaksanakan ibadah, khususnya ibadah sholat berjamaah, fatwa ini tentunya bisa menjadi panduan dan arahan. Dan, semoga kita semua senantiasa diberi kesehatan oleh Allah SWT dan dijauhkan dari ancaman virus tersebut. Amin!
Waallaikumsallam Waruhmatullah Wabarokatuh.