Seorang debitur (orang yang memiliki kewajiban kontrak) yang dituntut karena tuduhan wanprestasi kontrak mempunyai hak untuk melakukan pembelaan diri. Dalam pembelaan diri tersebut, debitur harus mengemukakan alasan-alasannya mengapa ia tidak bersalah dan karenanya tidak dapat dianggap telah melakukan wanprestasi – sehingga tidak wajib menjalani hukuman membayar ganti rugi. Beberapa alasan yang dapat dikemukankan oleh debitur antara lain: karena force majeure (keadaan memaksa), kreditur juga telah melakukan kelalaian, dan kreditur telah melepaskan haknya.
Force Majeure (Keadaan Memaksa)
Dalam keadaan normal, tidak terlaksananya kewajiban kontrak – atau terlaksana tapi terlambat – disebut juga wanprestasi. Pihak yang melakukan wanprestasi, sesuai Pasal 1243 KUHPerdata, karena kelalaiannya itu dapat dikenakan hukuman berupa penggantian biaya, rugi dan bunga. Selain wanprestasi, tidak terlaksananya hak dan kewajiban juga dapat terjadi karena adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeure).
Seperti juga wanprestasi, force majeure merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak melaksanakan kewajibannya – atau melaksanakannya tapi terlambat. Berbeda dengan wanprestasi, tidak terlaksananya atau terlambatnya pelaksanaan kewajiban dalam force majeure terjadi bukan karena kelalaian, melainkan suatu keadaan atau peristiwa yang berada di luar kendali atau di luar dugaan para pihak. Unsur keadaan diluar kendali para pihak inilah yang menghilangkan unsur kelalaian atau kesalahan dari pihak yang tidak atau terlambat melaksanakan kewajibannya. Sebagai konsekwensinya, pihak debitur dapat dibebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Seseorang yang membuka toko kelontong di sebuah pulau kecil yang padat penduduk, dan harus menyewa kapal setiap kali membawa stok barang dagangannya dari kota ke gudang, kemudian kapal tersebut karam di laut karena angin dan ombak besar, maka demikian force majeure dapat dilukiskan. Dalam kecelakaan itu pemilik kapal telah melaksanakan kewajibannya dengan itikad baik, namun karena kondisi alam yang berada di luar kendalinya, maka tragedi itu mendatangkan kerugian pada pemilik barang. Dalam kondisi tersebut, pemilik kapal tidak dapat dituntut ganti rugi karena kelalaiannya – karena pada dasarnya ia tidak lalai.
Namun beda halnya jika pemilik kapal telah menyadari keganasan alam yang akan dilaluinya, kemudian memaksakan diri menerjang laut karena, misalnya, dikejar waktu. Tindakan pemilik kapal memaksakan diri itu, sementara ia mengetahui bahaya yang mengintainya, merupakan suatu kelalaian, sehingga ia dapat dituntut untuk membayar kerugian yang dialami pemilik barang. Jadi, unsur kesalahan atau kelalaian disini memegang peranan penting untuk menuntut ganti rugi.
Kreditur Juga Telah Melakukan Kelalaian
Kelalaian yang juga dilakukan oleh kreditur merupakan suatu alasan bagi debitur untuk menghindari pembayaran ganti rugi atas tuduhan wanprestasi yang dilakukannya. Menurut Prof. Subekti, S.H., dalam setiap perjanjian timbal-balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya. Jangan mau menang sendiri, karena keduanya sedang menyeberang bersama-sama. Jadi, jika misalnya pemberi kerja terlambat membayar biaya jasa, maka pemberi kerja tidak dapat begitu saja menuntut ganti rugi kepada pelaksana kerja jika pelaksana kerja itu terlambat menyelesaikan pekerjaannya.
Secara eksplisit prinsip ini memang tidak ditentukan dalam perundang-undangan, tapi hidup dalam yurisprudensi hukum. Untuk mengambil sebagai pegangan, prinsip ini seperti juga ditegaskan dalam Pasal 1478 KUHPerdata:
Penjual tidak wajib menyerahkan barang yang bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya sedangkan penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya.
Kreditur Telah Melepaskan Haknya
Alasan lain yang dapat menghindari debitur dari tuntutan ganti rugi atau pembatalan kontrak karena wanprestasi adalah, kreditur melepaskan haknya. Dengan pelepasan hak ini berarti kreditur dianggap menerima kondisi yang ada dan tidak akan menuntut ganti rugi.
Pelepasan hak ini dapat dilakukan baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Misalnya, seorang pembeli menerima barang yang ternyata tidak sesuai dengan kualitas barang yang dipesannya. Tapi meskipun tidak sesuai kualitas pesanan, pembeli tidak mengajukan komplain atau mengembalikan barang tersebut. Pembeli malahan menggunakan barang tersebut, atau bisa jadi lebih puas dengan barang yang diterimanya ketimbang kualitas pesanan semula.