Ketentuan mengenai prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pada prinsipnya antara UU Ketenagakerjaan dalam UU No. 13 Tahun 2003 sama dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dalam UU No. 11 Tahun 2020. Dalam kedua undang-undang tersebut, baik pengusaha, karyawan maupun pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mencegah terjadinya PHK. Namun terkadang PHK menjadi tindakan yang tak bisa dihindari oleh perusahaan, meskipun para pihak tadi telah berusaha mencegahnya.
Sesuai UU Cipta Kerja, jika PHK tidak bisa dihindari, pertama-tema perusahaan harus memberitahukan maksud PHK tersebut kepada karyawan. Jika karyawannya menolak, maka perusahaan dan karyawan harus duduk bersama menyelesaikan PHK tersebut dengan perundingan bipartit – penyelesaian dua pihak, internal antara perusahaan dan karyawan.
Jika perundinganpun sudah dilakukan dan tidak mencapai kesepakatan, maka tahap berikutnya adalah penyelesaian PHK melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Mekanisme itu harus dilakukan sesuai dengan peraturan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pengadilan Hubungan Industrial).
Sesuai Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, PHK yang dilakukan tanpa adanya penetapan Lembaga Penyelesaian Prselisihan Hubungan Industrial batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut pada prinsipnya UU Ketenagakerjaan bermaksud mengawasi secara ketat, bahwa PHK karyawan harus benar-benar dihindari, dan kalaupuan terpaksa dilakukan maka harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. Pengawasan hukum itu dilakukan melalui penetapan pengadilan, yang kalau dilanggar ancamannya batal demi hukum.
Sedangkan di UU Cipta Kerja, meskipun proses dan prosedurnya hampir sama, mulai dari pencegahan, perundingan sampai penetapan pengadilan, tapi UU Cipta Kerja lebih mengedepankan aspek perundingan bipartit, meskipun pada akhirmya memerlukan penetapan Pengadilan Hubungan Industrial juga. Di UU Cipta Kerja, pasal 155 yang menegaskan bahwa PHK tanpa penetapan pengadilan adalah batal demi hukum, telah dihapus, sehingga tidak ada lagi ancaman batal demi hukum secara tegas.
Dengan dilakukannya PHK, maka karyawan berhak atas kompensasi yang berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, perhitungan uang pesangon dilakukan berdasarkan 2 kriteria, yaitu masa kerja karyawan dan alasan PHK. Dalam UU Cipta Kerja, dasar perhitungan uang pesangon hanya masa kerja karyawan, tidak lagi memasukan alasan PHK sebagai kriterianya.
Untuk mengetahui bagaimana cara menghitung uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja beserta contohnya, silahkan simak video berikut: