Perjanjian Tidak Harus Dibuat Tertulis, Tapi Bisa Juga Secara Lisan

Bukan hanya dengan lisan, tanpa ucapan yang secara tegas mengandung janji-janjipun sebuah perjanjian bisa dilahirkan. Perjanjian bisa lahir hanya berdasarkan tindakan-tindakan nyata yang dilakukan oleh para pihak. Sebuah penyerahan barang dan pembayaran harga dalam transaksi jual beli, meski tanpa janji-janji yang diucapkan, sudah bisa melahirkan perjanjian jual beli.

Tapi untuk perjanjian-perjanjian tertentu, yang umumnya diatur dalam undnag-undnag atau peraturan yang lebih spesifik, sebuah perjanjian kadang harus dibuat secara tertulis. Misalnya dalam transaksi jual beli tanah, yang sesuai undang-undang harus dibuat berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) secara tertulis yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Jadi, meski pada prinsipnya hukum tidak mensyaratkan bentuk tertulis dalam membuat perjanjian, tapi beberapa undang-undang menentukan bentuk perjanjian yang wajib dibuat secara tertulis. Kalau syarat tertulis itu tidak dipenuhi, maka akibatnya perjanjiannya bisa menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah akibatnya bisa dibatalkan atau batal demi hukum.

Beberapa undang-undang mensyaratkan agar perjanjian-perjanjian berikut harus dibuat secara tertulis: Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Jual Beli Tanah, Perjanjian Waralaba dan Perjanjian Pengalihan Saham PT.

Tapi, meskipun sebuah perjanjian bisa dibuat secara lisan, sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis dalam bentuk kontrak. Perjanjian yang dibuat tertulis selain dapat menafsirkan lebih rinci maksud-maksud para pihak dalam hubungan kerja sama, juga memberi kepastian hukum sebagaiĀ  alat bukti di pengadilan jika salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Dalam gugatan hukum di pengadilan, seuah perjanjian tertulis merupakan alat bukti hukum yang sangat penting. Sebagai alat bukti tulisan, perjanjian merupakan bukti yang paling banyak digunakan, dan dalam banyak kasus sangat menentukan putusan hakim (Dadang Sukandar, S.H./www.legalakses.com).