Tidak sahnya sebuah kontrak atau perjanjian bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak. Pentingnya syarat sahnya kontrak ini karena syarat-syarat tersebut merupakan alat ukur untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah kontrak, yang otomatis juga mempengaruhi status kontrak tersebut sebagai alat bukti hukum.
Dalam hukum perdata, syarat-syarat sahnya kontrak ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut, agar sebuah kontrak menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum harus memenuhi syarat:
- Kata sepakat
- Cakap untuk melakukan perbuatan hukum
- Adanya suatu hal tertentu
- Sebab yang halal
Syarat ke-1 dan ke-2 berkaitan dengan subyek kontrak, yaitu para pihak yang menandatangani kontrak, sehingga disebut juga syarat subyektif. Syarat ke-3 dan ke-4, yang karena berkaitan dengan pokok kontrak, disebut juga syarat obyektif. Tidak terpenuhinya salah satu syarat itu dapat menyebabkan kontraknya menjadi tidak sah. Kontrak yang tidak sah dapat mengakibatkan kontrak tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Kata Sepakat
Kata Sepakat atau kesepakatan diantara para pihak merupakan syarat utama dalam kontrak. Kesepakatan merupakan pertemuan kehendak dari para pihak diantara kepentingan-kepentingan hukum yang berbeda (a meeting of the minds). Apa yang dikehendaki oleh satu pihak juga dikehendaki oleh pihak lain. Para pihak ini menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Seorang produsen sepatu memiliki kehendak untuk mendistribusikan produk sepatunya dan memperoleh kompensasi harga barang, sementara distributor sepatu menghendaki untuk membeli produk tersebut dan menjualnya dalam jaringan pasarnya. Pertemuan kedua kehendak yang timbal balik itu, yang membuat sebuah kontrak kerja sama distribusi menjadi efektif.
Sebuah kesepakatan umumnya diawali dengan adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak, dan penawaran itu ditindaklanjuti dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak lawan. Sesuai asas konsensualisme, kesepakatan itu muncul ketika penawaran dan penerimaan itu bertemu. Kesepakatan jual beli barang lahir pada detik penjual dan pembeli menyepakati barang dan harganya (meskipun penyerahan barang dan pembayaran harganya belum dilakukan).
Sebuah kesepakatan kontrak harus diberikan secara bebas. Kesepakatan yang bebas artinya kesepakatan itu diberikan bukan karena adanya paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata:
Tiada suatu perjanjianpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Sebuah kontrak yang kesepakatannya diberikan karena paksaan, penipuan atau kekhilafan, tidaklah sah karena tidak memenuhi salah satu syarat subyektif, sehingga karenanya dapat dibatalkan.
Kecakapan Para Pihak
Cakap artinya para pihak dianggap mampu untuk melakukan perbuatan hukum, dan karenanya mampu untuk mempertanggungjawabkan akibat hukumnya. Seorang karyawan pabrik adalah orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan karenanya ia terikat kontrak kerja dengan perusahaannya. Di saat yang bersamaan karyawan itu tidak cakap untuk membuat kontrak kerja sama mewakili perusahaannya dengan perusahaan lain, karena sesuai undang-undang, hanya direktur perusahaan (PT) saja yang berhak mewakilinya.
Pada prinsipnya hukum menganggap semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (semua orang cakap untuk membuat kontrak). Tapi meski semua orang dianggap cakap, beberapa diantaranya masih ada yang dikecualikan. Pengecualian itu antara lain seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, dimana beberapa orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum (perdata) antara lain anak yang belum dewasa, orang yang berada dibawah pengampuan dan orang-orang yang memang oleh undang-undang tertentu dilarang untuk membuat kontrak tertentu.
Suatu Hal Tertentu
Syarat sah kontrak lainnya adalah suatu hal tertentu. Syarat ini merupakan obyek dari sebuah kontrak, pokok dari sebuah perjanjian, misalnya sebuah barang dalam kontrak jual beli, atau sebuah pekerjaan jasa dalam kontrak pekerjaan jasa (sebuah hak dan kewajiban dari kreditur dan debitur).
Dalam kontrak, obyek kontrak harus dapat ditentukan secara definitif, baik kualitas maupun kuantitasnya. Dalam jual beli mobil, misalnya, kuantitas dan kualitas itu meliputi satu buah mobil sedan merek tertentu seharga tiga ratus juta rupiah. Jika obyek perjanjian tidak dapat didefinisikan secara rinci, minimal obyek tersebut dapat ditentukan jenisnya. Hal ini seperti ditentukan dalam Pasal 1333 KUHPerdata:
Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Bagaimanakah menentukan jumlah hasil panen singkong di atas kebun seluas sepuluh hektar, jika panen kebun singkong tersebut masih belum dapat dilakukan saat penandatanganan kontrak? Kualitas dan kuantitas obyek kontrak itu baru dapat ditentukan secara pasti ketika panen singkong tiba, namun yang paling penting saat ini adalah obyeknya telah definitif: hasil panen kebung singkong di atas lahan seluas sepuluh hektar – berapapun hasil akhirnya nanti.
Suatu Sebab Yang Halal
Syarat lainnya sebuah kontrak yang sah adalah suatu sebab yang halal. Sebab di sini bukan merupakan motivasi yang membuat para pihak membuat kontrak, bukan kondisi tidak punya uang yang menyebabkan seorang pemilik rumah menyewakan sebagian rumahnya. Hukum tidak melihat motivasi dan dorongan jiwa dalam membuat kontrak, karena dalam kontrak yang terpenting adalah pelaksanaannya. Sebab yang dimaksud di sini adalah isi dari kontrak itu sendiri: penjual menerima uang pembayaran dan pembeli menerima barangnya.
Halal di sini juga bukan merupakan halal dalam pengertian agama, tapi pengertian secara hukum, yaitu obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang – obyeknya diperkenankan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal meliputi perbuatan yang melanggar undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum.