Kesepakatan adalah syarat sahnya perjanjian (kontrak), dan ini merupakan tahap akhir dari proses negosiasi kontrak. Anda perlu membuat kesepakatan dan mempertemukan penawaran dan penerimaan dengan mitra bisnis Anda jika ingin bergeser ke meja penandatanganan kontrak. Jika Anda yang menawarkan, maka pastikan lawan Anda menerimanya, demikian sebaliknya. Dalam prakteknya memang tak semudah itu, tapi jika Anda menguasai seluruh informasi dan bersikap open dan fair, maka Anda akan nampak bersungguh-sungguh untuk menjalin sebuah kerja sama bisnis.
Setibanya di meja negosiasi, pilihan-pilihan yang didukung oleh informasi yang meyakinkanlah yang mampu memberi kekuatan dalam mengarahkan kesepakatan. Pilihan-pilihan itu meliputi tuntutan hak dan kewajiban yang bukan saja menguntungkan satu pihak tapi juga harus menguntungkan pihak lain – simbiosis mutualisme. Tak ada orang yang ingin rugi, jadi dengan niat itulah setiap orang berangkat menuju ke meja perundingan.
Jika Anda dan lawan negosiasi Anda memperebutkan buah jeruk, Anda harus menyadarinya bahwa Anda hanya membutuhkan isinya sementara lawan negosiasi Anda membutuhkan kulitnya. Jadi, Anda tak perlu membelah buah jeruk itu menjadi dua bagian, yang membuat Anda dan lawan negosiasi Anda merasa sama-sama kalah karena hanya memperoleh setengah dari apa yang diharapkan.
Untuk memperoleh posisi yang lebih baik, membiarkan lawan kontrak menyatakan komitmennya lebih dahulu adalah prioritas. Dengan mengetahui komitmen lawan, maka Anda sudah menguasai informasi mengenai penawaran mereka yang mungkin lebih baik dari yang Anda duga. Informasi awal itu akan memberi Anda kesempatan untuk lebih leluasa melakukan manuver tawar-menawar. Itu lebih baik ketimbang Anda yang lebih dulu menyampaikan komitmennya – yang akan membuat Anda terikat pada komitmen tersebut dan akan lebih sulit mengatur manuver. Jika Anda berhadapan dengan perusahaan kontraktor dalam negosiasi pembangunan ruko, maka biarkan kontraktor itu yang terlebih dahulu menyebutkan harganya, sehingga Anda memiliki patokan harga dalam melakukan manuver tawar menawar.
Jika Anda memiliki persepsi yang sama dengan lawan kontrak Anda tentang sebuah komitmen (hak dan kewajiban), kemudian langsung menyepakatinya pada pembicaraan pertama, rasanya ada yang ganjil. Anda membuat negosiasi itu nampak mudah, karena seolah sudah men-KO lawan di ronde pertama.
Katakanlah Anda sudah menyiapkan anggaran biaya jasa untuk web developer yang akan mengerjakan website ecommerce Anda. Biayanya antara dua puluh sampai tiga puluh juta rupiah, sementara tanpa diduga web developer itu hanya meminta bayaran sebesar dua puluh juta rupiah. Karena web developer itu memberi penawaran biaya jasa di bawah jangkauan harga yang telah Anda siapkan, maka langsung menyepakatinya adalah tindakan yang naif, sementara Anda masih punya kesempatan untuk menurunkan penawarannya.
Meski negosiasi tak sepatutnya dibuat rumit dengan melulu melakukan tawar menawar yang kaku, namun terkadang kita dapat mengambil manfaat optimal dibalik kerumitan tersebut. Karena tak ada makan siang yang gratis, maka rasanya di dunia ini tak ada yang begitu mudah untuk diperoleh. Dan karena menawar harga biaya jasa adalah hak Anda, maka apa salahnya jika Anda menawarnya dengan harga yang lebih rendah? – harga yang tentunya sama-sama dianggap pantas.
Anda masih punya kesempatan untuk menawarnya mulai dari angka lima belas juta rupiah, misalnya, sementara lawan negosiasi Anda merangkak turun sedikit di bawah harga yang ditawarkan. Jika Anda menampilkan kesan yang belum puas dengan harga yang telah diturunkan itu, Anda masih dapat menerimanya dengan setidaknya menentukan syarat tambahan, misalnya dengan memperpanjang jangka waktu garansi maintenance webnya dari satu bulan menjadi dua bulan (Dadang Sukandar, S.H.,/www.legalakses.com).